Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah

Munas IV Hidayatullah di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta akan dibuka langsung Bapak Presiden Prabowo.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Irfan Yahya, sosiolog, aktivis Hidayatullah, akademisi dan peneliti pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas. Dia menulis opini terkait jelang Munas IV Hidayatullah. 

Irfan Yahya

Sosiolog, Aktivis Hidayatullah, Akademisi dan Peneliti Pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas

MUSYAWARAH Nasional (Munas) IV Hidayatullah di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada 28 Rabiul Akhir - 1 Jumadil Awal 1447 H atau 20-23 Oktober 2025, insya Allah akan dibuka langsung Bapak Presiden Prabowo.

Munas ini digelar sebagai wujud kesadaran akan kebutuhan mendesak untuk penguatan paradigma terhadap dinamika gerakan dan jati diri Hidayatullah.

Sejatinya, paradigma tidak hanya berfungsi sebagai kerangka berpikir ilmiah, tetapi juga sebagai sistem nilai yang mengatur arah tindakan dan orientasi sosial suatu gerakan.

Dalam konteks ini, Paradigma Sistematika Wahyu (Paradigma SW) dapat menjadi landasan konseptual untuk membaca ulang orientasi perjuangan Hidayatullah—bukan sekadar sebagai gerakan dakwah dan tarbiyah, melainkan sebagai sistem sosial yang berproses dalam rentang ruang sejarah setengah abad yang telah lalu serta menyongsong lima puluh tahun kedua selanjutnya.

Dari perspektif sosiologi pengetahuan, Paradigma SW memberi pemahaman bahwa cara manusia mengetahui dan bertindak selalu berhubungan erat dengan struktur sosial tempat pengetahuan itu dihidupi.

Wahyu, dengan demikian, bukan hanya teks transenden, tetapi juga struktur sosial yang hidup dan terus menuntun perubahan peradaban Islam.

 Paradigma adalah struktur intelektual yang mengatur asumsi dan nilai dalam sistem sosial.

Thomas S. Kuhn (1962) memperkenalkan konsep ini untuk menjelaskan pergeseran cara berpikir dalam ilmu pengetahuan.

Namun, dalam perspektif sosiologi pengetahuan, paradigma dipahami lebih luas—ia tidak hanya mengatur produksi ilmu, tetapi juga memengaruhi cara masyarakat membangun nilai dan tindakan kolektif.

Dengan demikian, paradigma merupakan mekanisme sosial yang membentuk kesadaran kolektif.

Paradigma SW hadir untuk mengintegrasikan wahyu dengan realitas sosial, menjadikannya sumber epistemik dan etis bagi perubahan masyarakat.

Paradigma SW bersandar pada urutan turunnya wahyu (tartib nuzuli) sebagai fondasi epistemologi dan metodologi sosial.

Lima tahapan awal—Tauhid (Al-‘Alaq), Fikrah dan Akhlak (Al-Qalam), Tarbiyah dan Spiritualitas (Al-Muzzammil), Dakwah dan Aksi Sosial (Al-Muddatsir), serta Integrasi Islam Kaffah (Al-Fatihah)—mewakili proses pembentukan pengetahuan dan struktur sosial yang berurutan dan saling berkaitan.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved