Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

PSM Makassar Lebih dari Sekadar Klub: Simbol Harga Diri Orang Sulawesi Selatan

Mulai dari era Ramang hingga sekarang Asnawi Mangkualam, semuanya menunjukkan bagaimana PSM menjadi wajah sepak bola Indonesia.

Tangkap Layar
PODCAST Saksi Mata Hadir dalam tawa dan tangis PSM Makassar 

Karena PSM itu bukan sekadar klub sepak bola, tetapi sudah menjadi bagian dari harga diri masyarakat Sulawesi Selatan.

Kalau di Jawa Timur ada Persebaya, Kediri, atau Madura, maka di Sulawesi hanya ada satu, PSM Makassar.

Jadi selama 110 tahun ini, keberadaan PSM harus kita jaga dan kawal bersama. Karena kalau PSM sampai hilang, berarti harga diri kita juga ikut hilang.

Itulah sebabnya kami terus berupaya sekuat tenaga agar klub ini tetap ada dan bertahan. Bagi saya, PSM bukan hanya klub, tapi simbol harga diri orang Sulawesi Selatan.

Nurmal Idrus: Paling pertama saya mengalami masa-masa sulit PSM yang ditunjuk sebagai asisten bidang humas pada 2008, kemudian pada 2009-2011 itu ketika PSM masuk Liga Indonesia begitu masuk LPI saya berhenti.

Mungkin saya salah satu pengurus tidak sepakat untuk masuk ke LPI, tetapi kemarin itu memang masa-masa sulit karena pada saat itu prestasi PSM sangat berat, oleh karena kembali ke masalah finansial di 2008-2011.

Pada saat itu juga manajemen PSM belum dikelolah profesional dan sepenuhnya masih bergantung pada pemerintah kota dan ketua umumnya saat itu Pak Ilham Arief Sirajuddin.

Saya pikir apa yang terjadi pada PSM hari ini, kalau dibanding dengan dulu saya pikir tidak perlu terjadi karena sekarang di sepak bola kita sudah semakin maju.

Menurut saya ini yang perlu mendapatkan perhatian untuk kita semua terutama untuk orang-orang yang masih mencintai PSM.

Kita semua sepakat karena ini harga diri kita karena kemana-mana kita keluar, orang lebih kenal PSM bukab makassarnya, orang kadang mengira PSM itu di Sutra padahal kita di Sulsel.

Seperti apa tantangan dihadapi dalam kepengurusan waktu itu?

Nurmal Idrus: Tantangannya waktu itu cukup besar, karena saat itu sepak bola Indonesia baru mulai memasuki era industrialisasi.

PSM pada masa itu sangat kental dengan nuansa politis dan belum dikelola secara profesional.

Dunia usaha atau industri sepak bola juga belum berkembang pesat seperti sekarang.

Seharusnya saat ini PSM tidak lagi menghadapi persoalan seperti keterlambatan gaji pemain.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved