Opini
Arena Wati, Sastrawan Negara Dilupakan di Negerinya
Pertama, menulis tentang Arena Wati lebih kepada pendekatan jurnalitik investigatif.
Dia mulai kenal dengan gadis asal Johor Malaysia ini, ketika Arena Wati bekerja di sebuah penerbitan di Singapura.
Istrinya selain sebagai seorang guru juga pernah menjadi pasukan Girl Guide pada 1950.
Dari perkawinanya dengan Halimah Solong, ia dikarunai enam orang anak yaitu Rahmawati, Hiryati, Ilhamuddin, Ratna Siti Akbari, Hasanuddin, Kamaluddin Ristov.
Arena Wati atau Muhammad Dahlan bin Abdul Biang atau Andi Mohalan Andi Beang atau lebih dikenali Arena Wati, meninggal dunia di usia 83 tahun pada 25 Januari 2009 merupakan Sasterawan Negara Malaysia pada 1988.
Nama penanya Duta Muda dan Patria.
Arena Wati mendapat pendidikan awal di sekolah Belanda, Hollands Indische School, sebelum meletus Perang Dunia II.
Ia terjun dalam dunia kewartawanan sekitar 1954 dan pernah menjadi editor di Pustaka Antara dan akhirnya menerima anugerah Sasterawan Negara pada 1988.
Karya-karyanya berorientasi akademik, imajinatif dan kritikannya pedas.
Novelnya yang pertama ialah Kisah Tiga Pelayaran pada 1959 di Singapura.Ia aktif menulis termasuk Lingkaran (1962), Sandera (1971), Rontok (1980),
Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993).
Selain itu, Sukma Angin (1999), Cakra Waruga (KN), Sebuah Trilogi Tiga Genre (KT), Trilogi Busa-Busa Hati, Trilogi Busa - Busa Sukma, Trilogi Busa-Busa Kalbu, Trilogi Armageddon: Mandala (2004), Trilogi Armageddon: Menorah, Trilogi Armageddon: Pentagon dan Warna Sukma Usia Muda.
Lain-lain karyanya adalah Eno (1985), Syair Pangeran Syarif (1989), Syair Pangeran Syarif Hasyim Al-Qudsi (1989), Syair Perang Cina di Monterado (1989), Burung Badai
(1990), Turina (1991), Citra (1991), Memoir Arena Wati Enda Gulingku (1991), Ombak Samudera (1992).
Meniti Kala by Arena Wati (1993), Panrita (1993), Sudara (1994), Mevrouw Toga (1995), Begawan (1996), Jejak Kreatif oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (1996), Koleksi Terpilih Arena Wati (1996), Sukma Angin (1999), Getar-Getir Maya, Kumpulan Cerpen (2000), Trilogi Busa (2002).
Armageddon (2004), Kutukan dari Langit (2004), Langkah Pertama Kumpulan Cerpen Awal, 1954-1959 (2004), Tujuh Tegak Bersama (2005), Warna Sukma Usia Muda (2005) dan yang terakhir Cakra Waruga (2006).
Adapun tema-tema karya Arena Wati menyoroti permasalahan kelas bawah dan berkisar mengenai nasib atau pembelaan terhadap golongan tertindas yang digarap dari
pengalaman merantau dari pulau ke pulau di Nusantara.
Novel Sandera menjadi teks kajian Sastera SPM sekitar 1980-an. Trilogi Bara-Baraya yang disiapkan ketika dirawat di HUKM berkisar mengenai perjuangan Melayu Nusantara.
Rekannya A Samad Said menyifatkan Arena Wati sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam arena sastra.
Pencapaian yang pernah diraihnya SEA Write Award (1985), Anugerah Sasterawan Negara (1987), Sukma Angin (1999) memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 1998/99, Anugerah Penulisan Asia Tenggara 1985 (SEA Write Award) daripada Paduka Raja Thai dan Pemenang Hadiah Sastera Majlis Sastera Asia Tenggara (Hadiah Mastera) 2003.
Arena Wati adalah Sastrawan Negara di Negeri orang sangat dihormati, namun di negerinya sendiri, di tanah kelahirannya di Kalumpang, Kabupaten Jeneponto dilupakan.
Penulis mengusulkan kepada Bupati Jeneponto H. Paris Yasir agar memberikan penghargaan kepada almarhum Dr. Muhammad Dahlan bin Abdul Biang sebagai putra Turatea yang memiliki jasa besar ikut serta memasukkan Budaya Turatea ke dalam budaya Melayu melalui tulisan-tulisannya. Semoga.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/TRIBUN-OPINI-Bachtiar-Adnan-Kusuma-Tokoh-Literasi-Nasional1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.