Opini
Arena Wati, Sastrawan Negara Dilupakan di Negerinya
Pertama, menulis tentang Arena Wati lebih kepada pendekatan jurnalitik investigatif.
Arena Wati, Sastrawan Negara Dilupakan di Negerinya
Oleh: Bachtiar Adnan Kusuma
Tokoh Literasi Nasional, Penulis, Pembicara
Beberapa pekan lalu, penulis diudang berbicara tentang Bimbingan Teknis Penulisan buku berbasis Konten Lokal di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Jeneponto, pada 11 September 2025.
Seusai berbicara di depan 60 orang peserta Bimbingan Menulis konten Lokal Turatea, Kabid Layanan Kerjasama dan Pengembangan Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Jeneponto, Hj. Syahru Rahmadani menyampaikan kalau pihaknya telah melakukan perburuan naskah ke kampung halaman Arena Wati, sastrawam Negara, kelahiran Kalumpang, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto.
Mendengar informasi tentang Arena Wati, sastrawan Negara, kelahiran Kalumpang, pada 30 Juli 1925, penulis langsung tancap gas ikut serta berburu tentang Arena Wati di kampung kelahirannya di Kalumpang.
Penulis berbahagia, selain didampingi istri tercinta Ani Kaimuddin Mahmud, penulis diterima kerabat keluarga dekat almarhum Arena Wati, Ambo Majid.
Mengenang tapak-tapak perjalanan Arena Wati sebagai sastrawan Negara dan sastrawan Dunia yang melegenda, mengingatkan kembali penulis tentang Arena Wati
dengan dua pendekatan.
Pertama, menulis tentang Arena Wati lebih kepada pendekatan jurnalitik investigatif.
Maksudnya, penulis memilih dengan mengumpulkan data mendalam melalui wawancara, analisis dokumen dan riset serta penyajian fakta-fakta terorganisir secara sistimatis, logis dan argumentatif.
Penulis bersyukur karena Ambo Majid, masih terbilang kerabat dekat dan ponakan Arena Wati yang intens dikirimi karya-karya buku Arena Wati yang terbit ke kalumpang melalui Ambo Majid.
Salah satu karya Arena Wati berjudul” Panrita” dikirim kepada Ambo Majid dilengkapi tulisan tangan Arena Wati berbunyi ” Ananda Majid: Baca buku ini berulang-ulang, untuk memahami isinya, isinya Insya Allah ananda akan jumpai sesuatu di dalamnya, bagaimana menemukan mutiara batin”.
Kedua, 28 tahun yang lalu, tepatnya pada 1997, penulis bersama Alif we Onggang, Aprial Hasfah, Achmad Tahir Ratu (almarhum) memprakarsai terbitnya buku berjudul” Tentang Sejumlah Orang-Orang Sulawesi Selatan “ diluncurkan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, dihadiri Menteri Penerangan, Mohammad Yunus Yospiah-saat itu.
Di dalam buku setebal 324 halaman diterbitkanYamami Jakarta.
Penulis membingkai sketsa singkat tentang Arena Wati.
Seperti laiknya anak Bugis-Makassar yang lekat dengan laut, Arena Wati atau Muhammad bin Abdul Biang, memulai debutnya sebagai pelaut dua tahun sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Sembari membawa barang dagangan, Arena Wati mengarungi penjuru lautan di berbagai tempat di Nusantara, membawanya mengembara hingga ke sejumlah negara jiran Malaysia, Singapura, Saigon, Rangoon.
Selain sebagai pelaut, Arena Wati juga mendalangi perjuangan gerilya kemerdekaan di Jakarta, Brunai dan Saigon.
Di usia remaja, Arena Wati telah menjadi nakhoda kapal.
Tercurah sudah cita- citanya yang diimpikan sejak kecil menjadi pelaut ulung.
Hasrat itu menggantung, karena lambat laun, berkat kegemaran membacanya tinggi, berbagai buku selagi berlayar di laut lepas, tiba-tiba terbersit kehendak untuk mengekspresikan pengalaman dan pikiran- pikirannya dalam bentuk karangan.
Dari sanalah sejarah Arena Wati dimulai.
Christian Pelras, salah seorang peneliti dan doktor antropologi dari Universitas Sarbonne, Perancis, menulis buku berjudul” Manusia Bugis “ setebal 449 Halaman
diterbitkan Nalar, menegaskan kalau sejak penulis Eropa pertamakali menyebut Bugis dan Makassar sebagai pelaut.
Menurut Pelras, sejak 1511, Tome Pires, seorang Portugis, menyamakan pedagang Bugis dan Makassar berlayar ke Malaka dari tempat yang ia sebut “Macacar.
Tidak heran, jika Arena Wati memilih jalan hidupnya berawal sebagai pelaut ulung karena karakternya sebagai manusia Bugis-Makassar masih menguasainya.
Penulis memeroleh informasi dari Ambo Majid kalau Arena Wati masih ada keturunan Bugis Wajo.
Arena Wati memilih berhenti menjadi pelaut, setelah dia berlabuh di Singapura pada awal 1950.
Ia mengalihkan perhatian sepenuhnya menjadi penulis, wartawan dan sastrawan.
Di Singapura salah satu sastrawan negara Malaysia ternama itu bekerja di majalah Royal Press dan Harmy.
Tak lama disini, Arena Wati hijrah ke Johor Baru bekerja di penerbitan Melayu Ltd selama lima tahun.
Lelaki yang menulis sejak usia 22 tahun itu, menjadi Ketua Penasehat Percetakan Light Brunai.
Sebagai orang yang dibesarkan di Makassar, novel Arena Wati sebagian menceritakan perjuangan Indonesia.
Selagi menulis dia tak ingin diganggu.
“ Istri sendiri pun tak berani mengusik jika saya sedang menulis” kata bekas dosen tamu di Universitas Gajah Mada.
Ia suka menyendiri mencari inspirasi, misalnya ke pegunungan agar kelak bisa menuangkan cerita dengan bebas.
”Hal terpenting dalam menulis adanya keserasian antara jasmani dan rohani” ucapnya seperti penulis kutip di buku “Tentang Sejumlah Orang-Orang Sulsel”.
Kendatipun Arena Wati bisa menulis siang malam, tapi jika mood tak menghampirinya, maka ia urung meneruskan karangannya sebagaimana novel Menara terhenti sejak tahun 1994.
Reputasi Arena Wati sebagai pengarang di Malaysia menghasilkan beberapa penghargaan, di antaranya yang paling prestesius Sastrawan Negara Malaysia pada 1988.
Dua tahun sebelumnya, lagi-lagi ia memeroleh penghargaan dari Bangkok berupa SEA Write Award yang boleh dibilang masih sangat sedikit yang meraihnya.
Arena Wati menulis kurang lebih sembilan novel, 80 buah cerpen, selusin puisi, 24 buah esai dan kritik, tiga buah kumpulan cerpen, 10 buah buku kajian.
Panrita sebuah novelnya yang banyak bercerita tentang daerah Makassar.
Belum lagi buku memoarnya yang ia tulis setebal 1.000 halaman dengan judul “Enda Gulingku”.
Selaku satrawan, Arena Wati mempunyai tugas memurnikan jiwa manusia agar mereka bisa mengatasi berbagai masalah kehidupan, soalnya, “ Sekarang apresiasi masyarakat terhadap sastra masih kurang”.
Berjaya di Negeri Jiran, Dilupakan di Negerinya
Lelaki bersahaja asal Turatea ini, menikah di Ujungpandang dengan Halimah Solong pada 1954.
Dia mulai kenal dengan gadis asal Johor Malaysia ini, ketika Arena Wati bekerja di sebuah penerbitan di Singapura.
Istrinya selain sebagai seorang guru juga pernah menjadi pasukan Girl Guide pada 1950.
Dari perkawinanya dengan Halimah Solong, ia dikarunai enam orang anak yaitu Rahmawati, Hiryati, Ilhamuddin, Ratna Siti Akbari, Hasanuddin, Kamaluddin Ristov.
Arena Wati atau Muhammad Dahlan bin Abdul Biang atau Andi Mohalan Andi Beang atau lebih dikenali Arena Wati, meninggal dunia di usia 83 tahun pada 25 Januari 2009 merupakan Sasterawan Negara Malaysia pada 1988.
Nama penanya Duta Muda dan Patria.
Arena Wati mendapat pendidikan awal di sekolah Belanda, Hollands Indische School, sebelum meletus Perang Dunia II.
Ia terjun dalam dunia kewartawanan sekitar 1954 dan pernah menjadi editor di Pustaka Antara dan akhirnya menerima anugerah Sasterawan Negara pada 1988.
Karya-karyanya berorientasi akademik, imajinatif dan kritikannya pedas.
Novelnya yang pertama ialah Kisah Tiga Pelayaran pada 1959 di Singapura.Ia aktif menulis termasuk Lingkaran (1962), Sandera (1971), Rontok (1980),
Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993).
Selain itu, Sukma Angin (1999), Cakra Waruga (KN), Sebuah Trilogi Tiga Genre (KT), Trilogi Busa-Busa Hati, Trilogi Busa - Busa Sukma, Trilogi Busa-Busa Kalbu, Trilogi Armageddon: Mandala (2004), Trilogi Armageddon: Menorah, Trilogi Armageddon: Pentagon dan Warna Sukma Usia Muda.
Lain-lain karyanya adalah Eno (1985), Syair Pangeran Syarif (1989), Syair Pangeran Syarif Hasyim Al-Qudsi (1989), Syair Perang Cina di Monterado (1989), Burung Badai
(1990), Turina (1991), Citra (1991), Memoir Arena Wati Enda Gulingku (1991), Ombak Samudera (1992).
Meniti Kala by Arena Wati (1993), Panrita (1993), Sudara (1994), Mevrouw Toga (1995), Begawan (1996), Jejak Kreatif oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (1996), Koleksi Terpilih Arena Wati (1996), Sukma Angin (1999), Getar-Getir Maya, Kumpulan Cerpen (2000), Trilogi Busa (2002).
Armageddon (2004), Kutukan dari Langit (2004), Langkah Pertama Kumpulan Cerpen Awal, 1954-1959 (2004), Tujuh Tegak Bersama (2005), Warna Sukma Usia Muda (2005) dan yang terakhir Cakra Waruga (2006).
Adapun tema-tema karya Arena Wati menyoroti permasalahan kelas bawah dan berkisar mengenai nasib atau pembelaan terhadap golongan tertindas yang digarap dari
pengalaman merantau dari pulau ke pulau di Nusantara.
Novel Sandera menjadi teks kajian Sastera SPM sekitar 1980-an. Trilogi Bara-Baraya yang disiapkan ketika dirawat di HUKM berkisar mengenai perjuangan Melayu Nusantara.
Rekannya A Samad Said menyifatkan Arena Wati sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam arena sastra.
Pencapaian yang pernah diraihnya SEA Write Award (1985), Anugerah Sasterawan Negara (1987), Sukma Angin (1999) memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 1998/99, Anugerah Penulisan Asia Tenggara 1985 (SEA Write Award) daripada Paduka Raja Thai dan Pemenang Hadiah Sastera Majlis Sastera Asia Tenggara (Hadiah Mastera) 2003.
Arena Wati adalah Sastrawan Negara di Negeri orang sangat dihormati, namun di negerinya sendiri, di tanah kelahirannya di Kalumpang, Kabupaten Jeneponto dilupakan.
Penulis mengusulkan kepada Bupati Jeneponto H. Paris Yasir agar memberikan penghargaan kepada almarhum Dr. Muhammad Dahlan bin Abdul Biang sebagai putra Turatea yang memiliki jasa besar ikut serta memasukkan Budaya Turatea ke dalam budaya Melayu melalui tulisan-tulisannya. Semoga.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/TRIBUN-OPINI-Bachtiar-Adnan-Kusuma-Tokoh-Literasi-Nasional1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.