Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Membaca Alarm Krisis Kohesi Sosial di Kota Makassar

Di balik berbagai peristiwa itu, tersimpan pesan penting bahwa struktur sosial di tingkat akar rumput sedang rapuh. 

Editor: Saldy Irawan
dok Asri Tadda
PENULIS OPINI - Asri Tadda. Ia mengirim tulisan untuk melengkapi opini berjudul Mengapa Rektor Unhas Seharusnya Tidak Dua Periode. Asri Tadda merupakan Alumni Universitas Hasanuddin, Inisiator Solidaritas Alumni Peduli Unhas 

Oleh: Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan)

 

TRIBUN-TIMUR.COM - Krisis kohesi sosial kota.

Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan peningkatan kasus tawuran antarkelompok remaja, bentrokan warga di sejumlah titik, hingga maraknya aksi kriminalitas jalanan yang terjadi hampir setiap pekan. 

Fenomena ini bukan lagi insiden terpisah, tetapi sudah menjadi pola sosial yang mengkhawatirkan. 

Di balik berbagai peristiwa itu, tersimpan pesan penting bahwa struktur sosial di tingkat akar rumput sedang rapuh. 

Rasa kebersamaan, saling percaya, dan tanggung jawab kolektif yang dulu menjadi ciri khas masyarakat Kota Daeng, perlahan memudar. Padahal nilai-nilai itulah yang selama ini membuat Makassar kuat, hangat, dan khas sebuah kota dengan identitas sosial yang kohesif.

Bagi saya, situasi ini tidak cukup dijelaskan dengan dalih kenakalan remaja atau lemahnya penegakan hukum. Akar persoalannya jauh lebih dalam. 

Kita sedang menghadapi krisis sosial, krisis dalam jaringan kehidupan bersama yang selama ini menjadi perekat antarwarga kota. 

Ketika ikatan sosial itu retak, kota kehilangan daya lentingnya dalam menghadapi tekanan ekonomi, laju urbanisasi, hingga gempuran budaya digital yang serba instan.

Inilah yang seharusnya terbaca sebagai alarm sosial bagi para pemimpin kota. Sebuah peringatan dini bahwa tata kelola kota tidak bisa lagi hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur fisik dan layanan publik semata. 

Mengelola kota dengan lebih dari satu juta penduduk memerlukan kecerdasan sosial, kepekaan budaya, dan kemampuan melakukan rekayasa sosial (social engineering) yang tepat. 

Kepemimpinan kota yang efektif bukan hanya soal administratif dan elektoral, tetapi juga soal bagaimana menata ulang struktur sosial agar tetap kokoh di tengah perubahan zaman.

Demokrasi Mikro dan Risiko Sosial

Salah satu kebijakan yang perlu dikaji secara kritis adalah rencana penerapan pemilihan langsung ketua RT dan RW dengan model one man one vote (OMOV). 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved