Opini
Cerita Bilqis dan Harapan untuk Lingkungan Ramah Anak
Nama Bilqis menjadi doa bersama. Sosoknya jadi simbol betapa rapuhnya perlindungan anak di ruang publik.
Oleh: Alita 'Itha' Karen
Aktivis Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - BILQIS adalah momen mengajarkan anak-anak terkasih kita mengenali bahaya dan cara meminta pertolongan.
Di sebuah pagi cerah di Makassar, tawa Bilqis anak berusia empat tahun menggema. Tawa jujurnya melengking di Taman Pakui Sayang, Rappocini.
Matanya penuh cahaya, menjadi bagian dari suasana riuh para pemain tenis di lapangan. Termasuk ayahnya.
Orang dewasa berlalu lalang. Lari, jalan, mencari keringat, memanaskan tubuh.
Anak lain, seusia Bilqis, juga riang bermain. Bukan demi keringat melainkan adrenalin bahagia.
Namun dalam sekejap, tawa itu terputus.
Bilqis hilang dari pandangan.
Ia terseret dalam rencana gelap orang dewasa.
Bilqis diculik pedagang.
Jaringan jahat yang menjadikan anak sebagai komoditas.
Di mata pedagang itu, Bilqis tak ubahnya roti atau bawang dagang pasar.
Hari-hari berikut berubah jadi gulungan kecemasan.
Orang tua menangis, masyarakat berdoa dan membantu untkencari jejak.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20251110-Itha-Ebenhizer.jpg)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/ITha-Ebenhizer-aktivis-perlindungan-anak-Sulsel.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.