Opini
Komisi Reformasi Polri: Antara Harapan dan Bayangan Masa Lalu
Namun, harapan publik terhadap komisi baru ini segera diiringi kegelisahan ketika komposisi anggotanya diumumkan.
Publik pun wajar khawatir bahwa reformasi ini hanya akan menjadi kosmetik politik, sekadar memberi kesan perubahan tanpa niat menembus akar masalah.
Dominasi Mantan Kapolri
Kritik kedua yang tak kalah tajam menyasar dominasi mantan Kapolri dalam tubuh komisi. Beberapa nama yang pernah memimpin Polri kini kembali tampil sebagai anggota.
Ada yang kini menjabat sebagai menteri dalam negeri, ada pula yang baru saja purna tugas dari kursi Kapolri.
Masuknya tiga mantan Kapolri sekaligus ke dalam komisi reformasi menimbulkan dilema moral dan politik.
Reformasi yang sejatinya dimaksudkan untuk mengevaluasi kepemimpinan dan sistem lama kini justru diisi oleh para perancang dan pelaku sistem itu sendiri.
Mereka membawa pengalaman, tetapi juga membawa warisan masalah yang belum terselesaikan.
Di masa lalu, berbagai isu tentang karier berbasis kelompok, dominasi angkatan, dan munculnya faksi-faksi internal di tubuh Polri sudah menjadi rahasia umum.
Kaderisasi diwarnai pertarungan antar kubu dan loyalitas personal yang melampaui loyalitas institusi. Promosi jabatan sering kali dipengaruhi oleh kedekatan dan bukan semata kompetensi.
Budaya ini tidak tumbuh dalam semalam, melainkan hasil dari pola kepemimpinan yang berulang sejak era Tito Karnavian hingga Listyo Sigit Prabowo.
Kini, ketika para mantan pemimpin itu duduk kembali sebagai penilai, publik patut khawatir, apakah mereka akan mengoreksi sistem yang pernah mereka ciptakan, atau justru mempertahankannya dengan wajah baru?
Rusaknya Sistem Karier di Polri
Di balik berbagai jargon reformasi seperti Promoter dan Presisi, Polri sesungguhnya masih bergulat dengan penyakit lama, ketergantungan pada loyalitas personal, pengawasan internal yang lemah, dan pengelolaan sumber daya manusia yang tidak transparan.
Fenomena terbentuknya kubu-kubu atau faksi di dalam tubuh Polri telah menciptakan atmosfer kompetisi yang tidak sehat.
Kader muda yang cakap sering kali kalah oleh perwira yang memiliki koneksi kuat dengan kelompok tertentu. Promosi jabatan bukan lagi cerminan meritokrasi, melainkan arena kompromi dan patronase. Dalam situasi semacam ini, sulit membayangkan reformasi dapat berlangsung murni.
Budaya faksional ini memperlemah profesionalisme kepolisian dan berdampak langsung pada pelayanan publik.
Setiap perubahan kepemimpinan membawa rombongan loyalis baru, sementara sistem kerja yang seharusnya stabil menjadi bergantung pada patron tertentu.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.