Opini
Manuver KPU RI
Aturan ini menimbulkan kegaduhan di ruang publik karena dianggap mengurangi transparansi dalam proses pemilu.
Publik kemudian menafsirkan kebijakan tersebut sebagai tanda adanya sesuatu yang ingin ditutupi.
Dengan kata lain, keputusan KPU bukan hanya dipandang sebagai langkah administratif, melainkan juga sebagai simbol komunikasi politik yang menimbulkan tafsir negatif.
Dari sini tampak bahwa politik bukan semata tentang prosedur, melainkan juga tentang pengelolaan simbol.
Seorang kandidat bisa saja memiliki kemampuan memimpin, tetapi tanpa simbol legitimasi yang jelas, publik sulit memberikan kepercayaan.
KPU pun bisa saja beralasan ingin melindungi data pribadi kandidat, tetapi simbol kerahasiaan yang ditampilkan justru mengirim pesan yang berbeda seakan-akan ada sesuatu yang tidak boleh diketahui rakyat.
Inilah kekuatan simbol dalam membentuk persepsi sosial, dimana ia tidak selalu sama dengan niat asli pembuat kebijakan.
Pembatalan aturan tersebut akhirnya dapat dipahami sebagai upaya memulihkan makna simbolik yang sempat rusak.
Dengan mencabut keputusan, KPU seolah berusaha mengembalikan dirinya ke posisi semula sebagai lembaga yang transparan dan akuntabel.
Namun, polemik ini menyisakan pelajaran penting yaitu sekali simbol keterbukaan retak, tidak mudah untuk segera memperbaikinya.
Kepercayaan masyarakat pada lembaga publik selalu dibangun dari proses panjang, tetapi dapat terkikis dalam waktu singkat jika simbol yang ditampilkan tidak konsisten.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa demokrasi modern pada dasarnya beroperasi melalui bahasa simbolik.
Pemilu bukan hanya tentang hitungan suara, tetapi juga tentang legitimasi yang dibangun lewat simbol-simbol tertentu seperti surat suara, tanda tangan, ijazah, bahkan gestur para kandidat di depan publik.
Semua itu dimaknai oleh masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari. Karena itu, menjaga keterbukaan bukan hanya soal prosedur hukum, melainkan juga soal bagaimana lembaga dan kandidat menjaga simbol kepercayaan agar tetap utuh di mata rakyat.
Polemik soal kerahasiaan ijazah dan KTP capres-cawapres memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan makna simbol dalam politik.
Publik menolak diposisikan hanya sebagai penonton yang pasif, melainkan ingin terlibat dalam menafsirkan dan menguji simbol-simbol legitimasi yang dibawa para kandidat.
Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak sekadar hidup di dalam kotak suara, tetapi juga di dalam arena simbolik tempat rakyat dan elite terus bernegosiasi tentang makna keterbukaan, legitimasi, dan kepercayaan.
Besar harapan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia tetap taat azas sesuai aturan tanpa harus bermanuver, semoga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.