Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Manuver KPU RI

Aturan ini menimbulkan kegaduhan di ruang publik karena dianggap mengurangi transparansi dalam proses pemilu.

Editor: Sudirman
Rahmat Muhammad
OPINI - Rahmat Muhammad Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas 

Oleh: Rahmat Muhammad

Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Isu keterbukaan informasi politik kembali mencuat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat menetapkan aturan yang menyatakan bahwa sejumlah dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, termasuk ijazah dan KTP, masuk kategori informasi yang dikecualikan dari akses publik.

Aturan ini menimbulkan kegaduhan di ruang publik karena dianggap mengurangi transparansi dalam proses pemilu.

Meski kemudian KPU membatalkannya, perdebatan yang muncul memperlihatkan bagaimana masyarakat memaknai dokumen-dokumen tersebut lebih dari sekadar syarat administratif.

Manuver yang dilakukan KPU RI menjadi preseden buruk untuk tidak terulang di masa mendatang ketika suatu gerakan yang seharusnya cekatan, tindakan yang penuh keterampilan, dan terukur justru dikesankan berupaya melakukan siasat licik demi mengakomodir kepentingan sesaat kelompok tertentu.

Dalam Sosiologi dikenal makna simbolik, dimana dokumen seperti ijazah dan KTP bukanlah benda mati yang hanya berfungsi teknis tetapi simbol dari proses.

Ijazah, misalnya, dipahami publik sebagai tanda sah atas pencapaian pendidikan seseorang. Lebih jauh, ijazah menjadi representasi legitimasi intelektual seorang pemimpin.

Ketika seorang kandidat presiden menunjukkan ijazahnya, publik tidak hanya melihat selembar kertas, tetapi juga melihat pengakuan sosial atas kapasitas dan kredibilitas sang kandidat.

Karena itu, ketika KPU sempat menyatakan bahwa dokumen ini bersifat rahasia, yang terusik bukan sekadar rasa ingin tahu masyarakat, melainkan juga kepercayaan terhadap simbol yang melekat pada kepemimpinan.

Dalam interaksi sehari-hari, masyarakat menilai seseorang bukan hanya dari ucapannya, tetapi juga dari simbol-simbol yang ia bawa misalnya mulai dari pakaian, gelar, hingga dokumen pendidikan.

Ijazah dalam konteks capres dan cawapres adalah simbol yang berfungsi ganda, ia menegaskan identitas personal sekaligus legitimasi publik.

Ketika akses terhadap simbol ini ditutup, publik merasa kehilangan kesempatan untuk menilai keaslian tanda legitimasi tersebut.

Selain itu, simbol juga berperan dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan. Dalam sistem demokrasi, kepercayaan adalah modal sosial yang sangat penting.

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memegang simbol kejujuran dan keterbukaan. Ketika lembaga ini dianggap menutup akses terhadap dokumen penting, simbol keterbukaan itu retak.

Publik kemudian menafsirkan kebijakan tersebut sebagai tanda adanya sesuatu yang ingin ditutupi.

Dengan kata lain, keputusan KPU bukan hanya dipandang sebagai langkah administratif, melainkan juga sebagai simbol komunikasi politik yang menimbulkan tafsir negatif.

Dari sini tampak bahwa politik bukan semata tentang prosedur, melainkan juga tentang pengelolaan simbol.

Seorang kandidat bisa saja memiliki kemampuan memimpin, tetapi tanpa simbol legitimasi yang jelas, publik sulit memberikan kepercayaan.

KPU pun bisa saja beralasan ingin melindungi data pribadi kandidat, tetapi simbol kerahasiaan yang ditampilkan justru mengirim pesan yang berbeda seakan-akan ada sesuatu yang tidak boleh diketahui rakyat.

Inilah kekuatan simbol dalam membentuk persepsi sosial, dimana ia tidak selalu sama dengan niat asli pembuat kebijakan.

Pembatalan aturan tersebut akhirnya dapat dipahami sebagai upaya memulihkan makna simbolik yang sempat rusak.

Dengan mencabut keputusan, KPU seolah berusaha mengembalikan dirinya ke posisi semula sebagai lembaga yang transparan dan akuntabel.

Namun, polemik ini menyisakan pelajaran penting yaitu sekali simbol keterbukaan retak, tidak mudah untuk segera memperbaikinya.

Kepercayaan masyarakat pada lembaga publik selalu dibangun dari proses panjang, tetapi dapat terkikis dalam waktu singkat jika simbol yang ditampilkan tidak konsisten.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa demokrasi modern pada dasarnya beroperasi melalui bahasa simbolik.

Pemilu bukan hanya tentang hitungan suara, tetapi juga tentang legitimasi yang dibangun lewat simbol-simbol tertentu seperti surat suara, tanda tangan, ijazah, bahkan gestur para kandidat di depan publik. 

Semua itu dimaknai oleh masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari. Karena itu, menjaga keterbukaan bukan hanya soal prosedur hukum, melainkan juga soal bagaimana lembaga dan kandidat menjaga simbol kepercayaan agar tetap utuh di mata rakyat.

Polemik soal kerahasiaan ijazah dan KTP capres-cawapres memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan makna simbol dalam politik.

Publik menolak diposisikan hanya sebagai penonton yang pasif, melainkan ingin terlibat dalam menafsirkan dan menguji simbol-simbol legitimasi yang dibawa para kandidat.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak sekadar hidup di dalam kotak suara, tetapi juga di dalam arena simbolik tempat rakyat dan elite terus bernegosiasi tentang makna keterbukaan, legitimasi, dan kepercayaan.

Besar harapan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia tetap taat azas sesuai aturan tanpa harus bermanuver, semoga.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Manuver KPU RI

 

Taubat Politik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved