Opini
Ahmad Sahroni dkk, Mulutmu Harimaumu
Ucapan seorang wakil rakyat, yang seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi dan kebijakan, justru berubah
Achmad Firdaus Hasrullah SIP MIR
Mahasiswa Doktor di People Friendship of Unviersity Moskow, Rusia
DI tengah gejolak demokrasi yang melanda Indonesia, satu insiden kecil namun fatal membuka mata kita akan pentingnya sebuah kata.
Ucapan seorang wakil rakyat, yang seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi dan kebijakan, justru berubah menjadi peluru panas yang melukai hati masyarakat.
Frasa "mulutmu harimaumu" seakan mendapat relevansi baru, bukan lagi sekadar peribahasa usang, melainkan cerminan nyata dari dampak fatal sebuah ucapan.
Seorang anggota Dewan, sejatinya adalah seorang komunikator ulung.
Dalam teori public speaking, mereka seharusnya menjadi sosok yang mampu merangkai kalimat dengan cermat, penuh empati, dan kebijaksanaan.
Mereka adalah perwakilan dari ribuan, bahkan jutaan, suara rakyat.
Setiap kata yang keluar dari bibir mereka adalah cerminan dari martabat bangsa.
Namun, ketika lisan seorang wakil rakyat justru mengeluarkan kata-kata yang merendahkan dan menghina, esensi dari tugas mulianya runtuh.
Baca juga: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patrio dan Adies Kadir Tetap Terima Gaji Sebelum PAW
Pernyataan yang menyinggung perasaan rakyat bagaikan peluru panas yang ditembakkan tanpa pandang bulu.
Dalam teori komunikasi, khususnya teori peluru atau bullet theory, media massa (dalam hal ini, ucapan seorang tokoh publik yang disebarkan luas) memiliki efek langsung dan kuat terhadap khalayak.
Kata-kata yang merendahkan dari seorang pejabat publik memiliki dampak yang sama.
Ia menembus pertahanan rasional dan langsung melukai emosi publik, memicu kemarahan, dan menciptakan gelombang perlawanan.
Reaksi publik yang begitu masif, mulai dari demonstrasi besar hingga tuntutan pencopotan, adalah bukti nyata betapa efektifnya "peluru" kata-kata tersebut dalam memicu kekacauan.
Baca juga: Heboh Kata Tolol, Surya Paloh Nonaktifkan Ahmad Sahroni dari Anggota DPR RI
Menjaga marwah sebagai wakil rakyat bukanlah sekadar tentang menjaga citra, melainkan tentang menghormati amanah.
Logika salah bicara yang mengakibatkan fatal seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pejabat publik.
Setiap kata yang diucapkan tidak bisa ditarik kembali.
Dampaknya bisa meluas, menciptakan krisis kepercayaan, dan merusak hubungan antara rakyat dan wakilnya.
Bukan hanya anggota dewan, para pejabat dan pemimpin lainnya seperti menteri, politisi, dan publik figur, sudah seharusnya berpikir dua atau tiga kali sebelum melontarkan sebuah kata atau kalimat.
Mereka harus menyadari bahwa ucapan mereka memiliki bobot dan dapat mencederai hati serta pikiran rakyat.
Berbicara secara cerdas berarti menyajikan data dan fakta yang valid, bukan sekadar narasi yang tidak berdasar.
Jangan membandingkan hal-hal yang tidak apple to apple, seperti membandingkan harga beras di Indonesia dengan Jepang tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi, inflasi, dan daya beli masyarakat setempat.
Perbandingan yang tidak setara hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan kemarahan.
Seorang pemimpin seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang.
Mereka harus mampu berkomunikasi dengan empati, menghindari ucapan yang menyakiti atau merendahkan audiens.
Setiap kata harus dipilih dengan hati-hati agar tidak melukai hati rakyat yang sedang dalam kesulitan.
Yang terpenting, jangan pernah berbicara jika tidak memahami secara mendalam topik yang dibahas, karena hal itu akan membuka ruang bagi berbagai tafsiran yang berbeda, memicu kebingungan, dan pada akhirnya, memperburuk situasi.
Pernyataan dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, sangat relevan dalam situasi ini.
"Mari semua menahan diri dan menjaga..." adalah seruan yang tepat dan bijaksana.
Seruan ini tidak hanya ditujukan kepada para demonstran, tetapi juga kepada seluruh elemen bangsa, terutama para pejabat dan wakil rakyat.
Menahan diri berarti mengendalikan emosi, ucapan, dan tindakan agar tidak memperkeruh suasana.
Menjaga berarti memelihara ketenangan, persatuan, dan keutuhan bangsa.
Ini adalah pengingat bahwa di tengah perbedaan, kita harus tetap mengedepankan dialog dan persatuan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap pejabat publik untuk memahami bahwa mereka adalah seorang komunikator.
Mereka adalah pemimpin yang kata-katanya didengarkan dan diperhatikan. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka memiliki konsekuensi.
Mereka harus berbicara dengan hati-hati, penuh hormat, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat.
Jangan biarkan mulut yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, justru menjadi peluru yang membunuh kepercayaan.
Karena di era informasi ini, satu kata salah bisa menjadi percikan api yang membakar seluruh hutan.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.