Opini
Ahmad Sahroni dkk, Mulutmu Harimaumu
Ucapan seorang wakil rakyat, yang seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi dan kebijakan, justru berubah
Menjaga marwah sebagai wakil rakyat bukanlah sekadar tentang menjaga citra, melainkan tentang menghormati amanah.
Logika salah bicara yang mengakibatkan fatal seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pejabat publik.
Setiap kata yang diucapkan tidak bisa ditarik kembali.
Dampaknya bisa meluas, menciptakan krisis kepercayaan, dan merusak hubungan antara rakyat dan wakilnya.
Bukan hanya anggota dewan, para pejabat dan pemimpin lainnya seperti menteri, politisi, dan publik figur, sudah seharusnya berpikir dua atau tiga kali sebelum melontarkan sebuah kata atau kalimat.
Mereka harus menyadari bahwa ucapan mereka memiliki bobot dan dapat mencederai hati serta pikiran rakyat.
Berbicara secara cerdas berarti menyajikan data dan fakta yang valid, bukan sekadar narasi yang tidak berdasar.
Jangan membandingkan hal-hal yang tidak apple to apple, seperti membandingkan harga beras di Indonesia dengan Jepang tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi, inflasi, dan daya beli masyarakat setempat.
Perbandingan yang tidak setara hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan kemarahan.
Seorang pemimpin seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang.
Mereka harus mampu berkomunikasi dengan empati, menghindari ucapan yang menyakiti atau merendahkan audiens.
Setiap kata harus dipilih dengan hati-hati agar tidak melukai hati rakyat yang sedang dalam kesulitan.
Yang terpenting, jangan pernah berbicara jika tidak memahami secara mendalam topik yang dibahas, karena hal itu akan membuka ruang bagi berbagai tafsiran yang berbeda, memicu kebingungan, dan pada akhirnya, memperburuk situasi.
Pernyataan dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, sangat relevan dalam situasi ini.
"Mari semua menahan diri dan menjaga..." adalah seruan yang tepat dan bijaksana.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.