Opini
One Piece di dalam Ruang Sekaligus
Bendera Jolly Roger ala kru Monkey D. Luffy jadi simbol pembebasan. Pesan politiknya terasa di tengah realitas Indonesia
One Piece di dalam Ruang Sekaligus
Oleh: Dwi Rezki Hardianto
(Dosen Sastra di PBIS FKIP Universitas Terbuka)
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Agustus kali ini begitu muram.
Bendera Merah Putih berkibar seperti sedang menari.
Angin yang mengibarkannya seperti membawa irama musik Jeff Satur’s comedy yang tragis.
Alih-alih membawa udara segar, tapi racun dan duka turut terbawa olehnya.
Angin itu tampak oleh mata kita, berwarna kelabu dan menutup langit Indonesia.
Angin itu berasal dari berbagai tempat, mungkin termasuk pula dari Gedung Putih Istana di Jakarta.
Sembari menari, warna putih bendera itu berubah warna menjadi kelabu, merahnya luntur tanpa keberanian, kainnya lusuh berkerut seperti dahi menanggung beban.
Jiwanya dibunuh, tapi Ia tetap dipaksa tersenyum dan terus menari—seolah-olah tak ada derita di jiwanya.
Beberapa orang, mulai supir truck, nelayan, hingga kelas menengah ke bawah dari berbagai tempat iba kepadanya.
Mereka tak tega melihat sang Merah Putih terus direndahkan, dibunuh, dan dihancurkan bersama dirinya.
Mereka tak mau jika Bendera itu kesepian dan tak berdaya.
Maka di sinilah bendera Jolly Roger a la Kru Monkey D. Luffy di Serial One Piece dibutuhkan sebagai penopang.
Bendera tersebut tidak sekadar bermakna denotatif: tengkorak, tulang bersilang, topi Jerami dengan pita merah mengitarinya, dan berlatar hitam.
Namun, Ia juga bermakna konotatif: pembebasan dan pemberontakan kepada otoritas kekuasasan.
Meskipun pada abad ke 18, Jolly Roger mengasosiasikan kematian dan teror.
Jika semua unsur visual bendera tersebut ditelanjangi melalui pendekatan semiotika, maka tengkorak dan tulang bersilang mengasosiasikan teror, topi Jerami dengan pita merah mengitari mengasosiasikan kaum tertindas (petani, ndeso, nelayan, kaum menengah ke bawah, dan sebagainya) dengan perlawanan, dan hitam mengasosiasikan penolakan semua bentuk otoritas.
Dengan demikian, jika disusun secara struktural, maka bendera Jolly Roger a la Kru Monkey D. Luffy merupakan asosiasi retoris dari teror perlawanan kaum tertindas terhadap otoritas kekuasaan.
Dengan kata lain, semangat yang di bawah bendera itu adalah semangat pembebasan.
Baca juga: Tak Ada Unsur Makar Pakar UIN Alauddin dan LBH Makassar soal Fenomena Bendera One Piece
Fiksi sebagai Realitas dan Begitupun Sebaliknya
Pada tahun 2024, saya menulis artikel berjudul “Cyborg without Organs: Bartholomew Kuma as a Nomadic Subject (A Collective Interpretation on Oda’s One Piece Manga)”. Melalui tulisan ini, saya mengidenfikasi One Piece sebagai fiksi populer dengan dua alasan sederhana: Pertama, bentuk naratif fiksionalnya melampaui bentuk-bentuk konvensional dari karya sastra pada umumnya melalui grafik-naratif; dan kedua, karena dikonsumsi secara luas serta berpengaruh di berbagai kultur.
Ketika fenomena bendera Jolly Roger Kru Luffy dan One Piece bergema di mana-mana. Saya merefleksi kembali apa makna fiksi itu?
Sebagian Masyarakat memercayai bahwa fiksi adalah khayalan belaka atau sebuah artefak imajinatif.
Persepsi ini tidak bisa dianggap bermasalah sepenuhnya, karena sebagian struktur dari fiksi terbangun melalui proses imajinatif.
Namun dalam konteks ini, sebagian struktur lainnya masih terikat dengan realitas yang ada karena fiksi tidak beranjak berdasarkan ex nihilo, sebagaimana yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann.
Meskipun, fiksi itu menarasikan alien berkepala manusia di Planet Kepler-59, tapi pengalaman trans-individual atau sosial pengarang pasti turut terlibat mengkristalisasi struktur naratif fiksi tersebut.
One Piece tentu saja penuh dengan pengalaman sosial, kultural, dan historis.
Sejarah kolonialisasi, korupsi, genosida pengetahuan, rasisme, feminisme, perbudakan, totalitarianisme di berbagai kebudayaan, technopolitik, dan masih banyak lagi, hadir sebagai kristalisasi pengalaman dalam karya.
Dari hal tersebut, saya mengasumsikan bahwa terasa kuatnya trans-individual Oda membentuk struktur naratif dari One Piece.
Hingga semua orang mampu merasakan pengalamannya masing-masing di dalam karya tersebut.
Dalam konteks ini pengalaman Oda menjadi lebur kembali menjadi pengalaman masyarakat atau bisa disebutkan sebagai ruang emansipasi masyarakat.
Seolah-olah One Piece tidak hanya dimiliki oleh Oda atau kebudayaan tertentu—begitupun dengan struktur fiksionalnya—melainkan dimiliki semua orang.
Pengibaran Bendera: Masyarakat Bermain di Ruang Sekaligus
Ketika struktur naratif One Piece dimiliki oleh semua orang, maka setiap orang mampu menjadikannya sebagai cermin untuk memantulkan realitasnya masing-masing.
Dan ketika realitas tersebut dipantulkan serta mampu membangkitkan naluri bermain masyarakat, maka di sinilah potensi karya tersebut mampu menciptakan pengalaman atau realitas baru dari masyarakat.
Ketika itu terjadi, maka dalam posisi ini, One Piece tidak sekadar fiksi semata tapi Ia merupakan “sekaligus” fakta.
Saya mengidentifikasinya sebagai ruang sekaligus bukan tanpa sebab.
Gagasan ini dipengaruhi oleh Jacques Ranciére. Bagi Ranciére dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010), seni—termasuk puisi atau karya lainnya—tidak sekadar berada di dalam bentuk otonomnya, tapi prinsip otonomnya juga ditempatkan sebagai bangunan dari pengalaman estetika heterogen.
Pengalaman estetis yang dimaksud memiliki kesetaraan makna pada kehidupan kita.
Ia akan berfungsi secara politis jika pengalaman estetika karya mampu membangun jembatan “and” untuk menghubungkannya pada harapan mengubah hidup kita.
Hanya sejauh itulah pengalaman estetika itu efektif sebagai medan politik.
Sebagai medan politik, One Piece seperti membangunkan harapan masyarakat.
Pengibaran bendera Jolly Roger Kru Monkey D. Luffy merupakan eskpresi politik atas distribusi otoritas yang tidak demokratis, sekaligus sebagai ekspresi meredistribusi kebebasan.
Hal ini sangat terasa, ketika tatanan kekuasaan yang dominan saat ini mulai terganggu dengan ekspresi ini dan berbagai upaya—termasuk aparatur represif negara—digerakkan untuk melakukan tindakan eksklusivitas.
Seperti para Gorosei dan Im Sama di Dunia One Piece, mereka khawatir jika Drums of Liberation berbunyi dan berdetak kencang di jantung masyarakat, pada akhirnya jiwa Dewa Nika bangkit dan merasuki tubuh mansyarakat, seperti ketika Gear Fifth Luffy aktif dan membebaskan Masyarakat dari kekangan totalitarian Orochi dan Kaido selama puluhan tahun di Wano.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.