Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menyikapi Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu

Menarik hal disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, di sela-sela diskusi yang diprakarsai Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Anggota KPU Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Saiful Mujib 

Bukankah pemilu dan pemilihan adalah momentum yang seharusnya disambut bahagia oleh setiap orang, karena pada waktu itu pemilih dapat terlibat langsung menentukan wakil mereka yang akan menduduki jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah, yang akan menentukan kebijakan demi kesejahteraan rakyat secara umum.

Apakah ketidakpedulian yang ditunjukkan pemilih mengindikasikan ketidakbahagiaan pemilih, yang artinya ada problem yang mengiringi pemilu dan pemilihan yang telah dilaksanakan?

Dalam catatan sejarah, pemilu yang diikuti oleh 94 hingga 96 persen lebih pemilih yang terdaftar adalah pemilu yang dilaksanakan di masa Orde Baru pada tahun 1971 hingga 1997.

Hanya saja pada masa itu intervensi penguasa sangat dominan untuk mengarahkan pemilih, sehingga pemilu tak lebih hanyalah formalitas.

Setelah Reformasi angka partisipasi pemilih tertinggi hanya terjadi pada pemilu tahun 1999 yang mencapai 92 persen.

Penyebabnya bisajadi karena euforia menyambut era baru dalam perkembangan demokratisasi di Tanah Air.

Namun, setelah pemilu 1999, partisipasi pemilih kian mengalami tren penurunan hingga saat ini. 

Apa yang menyebabkan hal itu terjadi?

Jangan-jangan Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 tersebut merupakan jawaban agar pemilu kembali pada fitrahnya.

Terlaksananya pemilu dan pemilihan yang sesuai koridor dan tidak kehilangan ruh dan tujuan mulia dari dilaksanakannya pemilu dan pemilihan, untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kehendak rakyat. 

Karena sudah bukan rahasia lagi, setelah pemilu pertama tahun 1955, pemilu dan pemilihan yang telah kita lewati, bahkan yang dilaksanakan pasca reformasi sekalipun, tidak mampu lepas dari praktek-praktek yang mengarah pada apa yang disebut Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika “Dinamika Politik di Era Virtual” sebagai politik imagology; penggunaan berbagai citra untuk kepentingan tertentu.

Fatalnya, kondisi itu kemudian mengarah pada terciptanya imanensi politik radikal, dimana politik yang semestinya dikendalikan oleh fondasi-fondasi ideologis kini hanya dikendalikan oleh kekuasaan sistem citra, yang tercerabut dari fondasi ideologisnya.

Bahkan, cenderung menjadi fatamorgana politik. 

Sementara, jika politik hanya dianggap sebagai kepentingan belaka (panggung untuk memperebutkan jabatan eksekutif dan legislatif, hanya akan mengarah pada ruang politik yang miskin kepecayaan, temporer dan inkonsisten; karena akhirnya, yang abadi hanyalah kepentingan.

Sehingga upaya yang dilakukan oleh politisi untuk mendapatkan dukungan pemilih cenderung dilakukan dengan cara-cara yang keluar dari norma dan aturan main yang diperbolehkan.

Hal itu dilakukan semata untuk menduduki jabatan yang diinginkan.

 Apa mungkin, situasi inilah yang menyebabkan pemilih kian apatis terhadap pemilu dan pemilihan yang berlangsung, sehingga cenderung abai dan tidak berpartisipasi?(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved