Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menyikapi Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu

Menarik hal disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, di sela-sela diskusi yang diprakarsai Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Anggota KPU Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Saiful Mujib 

Saiful Mujib

Anggota KPU Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

MENARIK hal disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, di sela-sela diskusi yang diprakarsai Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beberapa waktu lalu.

Bima menyebut Reformasi 98 telah membuka keran yang cukup lebar bagi perkembangan demokrasi, namun ada yang belum selesai dari reformasi itu sendiri. 

Di antaranya, kenapa hari ini kita masih sibuk mengurusi sistem dan mekanisme pemilu, adalah salah satu persoalan yang tidak selesai dibicarakan saat Reformasi.

Apa yang disampaikan Bima Arya dalam konteks menyikapi putusan MK nomor 135 tahun 2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Apalagi, pemilihan umum yang dalam dua periodesasi terakhir dilaksanakan serentak, dengan menyatukan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan juga PDRD, telah sukses dilaksanakan.

Namun hadirnya putusan MK ini akan membuat keserentakan pemilihan DPR dan DPRD dilaksanakan di waktu yang tidak sama.

Pemilu nasional berarti pemilih akan memilih calon presiden dan wakil presiden, DPR dan DPD di dalam satu momentum pemilu. 

Sementara pemilu daerah pemilih akan memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota bersama dengan calon DPRD baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten kota di dalam satu momentum pemilu. 

Dalam diskusi yang dilaksanakan di Hotel Unhas itu, politisi Golkar, Taufan Pawe, yang juga hadir sebagai penanggap, menyebut bahwa putusan MK jugalah yang menjadi landasan sehingga pemilu digelar serentak dan telah diterapkan di tahun 2019 dan 2024, yaitu putusan MK nomor 55 tahun 2019.

Hari ini keserentakan itu terancam dengan keluarnya putusan MK lainnya.

Sementara semangat dari Putusan MK Nomor 55 Tahun 2019 itu menurutnya adalah terkait dengan efektivitas pelaksanaan pemilu dengan menyatukan pemilihan DPR dan juga DPRD, selain Presiden dan DPD.

Mantan Wali Kota Parepare itu menyebut, walaupun ada system lainnya yang dikembangkan untuk mendorong pemilu yang ideal, semestinya tidak menghilangkan konteks keserentakan pemilu.

Apalagi, dengan putusan MK nomor 135 tahun 2024 ini, MK meminta pemilihan kepala daerah digabung dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

Pemilu memang selalu menjadi diskursus yang menarik untuk diulas. Momen lima tahunan yang diselenggarakan untuk memilih pemimpin yang akan menduduki jabatan eksekutif dan legislatif ini kerapkali menjadi indikator tercapainya derajat demokratisasi di dalam suatu negara.

Belum selesai perdebatan terkait apakah pemilu langsung atau pemilu tidak langsung, kembali kita dihadapkan pada tantangan pemisahan pemilu akibat keluarnya Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024.

Hari ini diskusi yang berkembang adalah bagaimana menjawab dan melaksanakan putusan MK tersebut.

Maka tidak salah kiranya jika Dekan FISIP Unhas, Prof Sukri, yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang bertajuk “Menuju Pemilu yang Adil dan Representatif; Masukan Publik untuk Revisi Regulasi Pemilu di Indonesia” tersebut, mengatakan perlunya rumusan tentang apa yang akan kita tuju, agar apapun yang kita buat dan akan kita lakukan dalam menyikapi putusan MK itu nantinya adalah bagian dari strategi, mekanisme, dan jalan menuju ke arah tujuan yang telah dirumuskan tersebut. 

Namun yang pasti, hadirnya putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 ini mendorong perubahan undang-undang pemilu dan pemilihan.

Sehingga untuk membentuk dan mengisi muatan undang-undang tersebut dibutuhkan kerangka berfikir, dibutuhkan gagasan dan ide, yang tidak keluar dari jalan menuju ke arah tujuan yang telah ditentukan.

Pertanyaannya, kita mau ke mana? 

Kita mau melakukan apa?

Kalau pun tatatan ideal yang kita idamkan adalah kesejahteraan, kesejahteraan yang seperti apa?

Tidakkah setelah puluhan tahun kita menjalankan pemilu, dengan pemimpin yang silih berganti, kita belum menuju ke arah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia? 

Pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagaimana disampaikan Dekan FISIP Unhas tersebut menarik untuk didiskusikan secara mendalam, mengingat sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1955, kita telah melalui serangkaian pemilu untuk memilih pemimpin yang duduk mewakili rakyat, duduk sebagai pejabat eksekutif dan legislatif, merumuskan kebijakan yang diharapkan dapat mendorong kesejahteraan bangsa Indonesia secara umum. 

Belum lama ini, pada bulan Februari tahun 2024, kita juga telah melewati pemilu untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan juga DPRD, selang beberapa bulan, pada November 2024 kita kembali memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.

Pemilu dan pemilihan tersebut dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.

Secara umum pemilu serentak tersebut mempersingkat waktu pelaksanaan pemilu dan pemilihan.

Walaupun ketika bicara terkait tahapan pemilu dan pemilihan, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahapan tersebut sama sebagaimana pemilu dan pemilihan yang digelar sebelum tahun 2024.

Sebagaimana Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tahapan pemilu paling lambat dilaksanakan 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Sementara di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa pemilihan dilaksanakan pada bulan November 2024.

Secara umum pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024 berjalan dengan baik.

Tingkat partisipasi pemilih pun terbilang cukup tinggi, yaitu dikisaran 81 persen.

Namun masuk di tahapan pemilihan, partisipasi pemilih menurun di bawah angka 70 persen.

Sementara bila diukur dari waktu yang relative singkat tersebut, yaitu hanya berselang 9 bulan, semestinya dapat meningkatkan semangat pemilih yang masih belum lama ini beruforia dalam pelaksanaan pemilu.

Situasi ini menyiratkan pertanyaan besar bagi kita, apakah pemilih hanya cenderung antusias untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD saja, dan kurang antusias untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota? 

Sementara bila dikaitkan dengan konteks lokalitas, maka seharusnya pemilih lebih antusias memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota, yang notabene adalah tokoh-tokoh lokal yang jauh lebih dikenal dan dekat dengan pemilih, dan akan menjadi pemimpin di tingkat lokal.  

Dari sisi pekerjaan dalam mensukseskan pelaksanaan tahapan, dilaksanakannya pemilu dan pemilihan serentak tentunya mempersingkat pekerjaan penyelenggara pemilu yang berarti meningkatkan efektifitas pelaksanaan pemilu dan pemilihan.

Walaupun begitu, irisan tahapan antara pemilu dan pemilihan 2024 mendorong penyelenggara pemilu bekerja lebih ekstra, karena di tengah proses menghadapi sengketa pemilu, penyelenggara pemilu sudah harus melaksanakan tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota. 

Pemilu Ideal

Pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 mengajarkan pada kita, bahwa sepertinya bukan soal sistem atau mekanisme pemilihan yang kurang tepat dan perlu ada perbaikan.

Bukan juga soal keserentakan sebagaimana pemilu dan pemilihan 2024.

Karena bila diukur dari tingkat partisipasi dan keterlibatan pemilih dalam pemilu dan pemilihan di 2024, maka tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pemilu dan pemilihan sebelum pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024.

Lalu apa pokok persoalan yang perlu diperhatikan untuk menuju pemilu dan pemilihan yang ideal demi tujuan ideal untuk melahirkan pemimpin yang diharapkan oleh rakyat? 

Bukankah pemilu dan pemilihan adalah momentum yang seharusnya disambut bahagia oleh setiap orang, karena pada waktu itu pemilih dapat terlibat langsung menentukan wakil mereka yang akan menduduki jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah, yang akan menentukan kebijakan demi kesejahteraan rakyat secara umum.

Apakah ketidakpedulian yang ditunjukkan pemilih mengindikasikan ketidakbahagiaan pemilih, yang artinya ada problem yang mengiringi pemilu dan pemilihan yang telah dilaksanakan?

Dalam catatan sejarah, pemilu yang diikuti oleh 94 hingga 96 persen lebih pemilih yang terdaftar adalah pemilu yang dilaksanakan di masa Orde Baru pada tahun 1971 hingga 1997.

Hanya saja pada masa itu intervensi penguasa sangat dominan untuk mengarahkan pemilih, sehingga pemilu tak lebih hanyalah formalitas.

Setelah Reformasi angka partisipasi pemilih tertinggi hanya terjadi pada pemilu tahun 1999 yang mencapai 92 persen.

Penyebabnya bisajadi karena euforia menyambut era baru dalam perkembangan demokratisasi di Tanah Air.

Namun, setelah pemilu 1999, partisipasi pemilih kian mengalami tren penurunan hingga saat ini. 

Apa yang menyebabkan hal itu terjadi?

Jangan-jangan Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 tersebut merupakan jawaban agar pemilu kembali pada fitrahnya.

Terlaksananya pemilu dan pemilihan yang sesuai koridor dan tidak kehilangan ruh dan tujuan mulia dari dilaksanakannya pemilu dan pemilihan, untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan kehendak rakyat. 

Karena sudah bukan rahasia lagi, setelah pemilu pertama tahun 1955, pemilu dan pemilihan yang telah kita lewati, bahkan yang dilaksanakan pasca reformasi sekalipun, tidak mampu lepas dari praktek-praktek yang mengarah pada apa yang disebut Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika “Dinamika Politik di Era Virtual” sebagai politik imagology; penggunaan berbagai citra untuk kepentingan tertentu.

Fatalnya, kondisi itu kemudian mengarah pada terciptanya imanensi politik radikal, dimana politik yang semestinya dikendalikan oleh fondasi-fondasi ideologis kini hanya dikendalikan oleh kekuasaan sistem citra, yang tercerabut dari fondasi ideologisnya.

Bahkan, cenderung menjadi fatamorgana politik. 

Sementara, jika politik hanya dianggap sebagai kepentingan belaka (panggung untuk memperebutkan jabatan eksekutif dan legislatif, hanya akan mengarah pada ruang politik yang miskin kepecayaan, temporer dan inkonsisten; karena akhirnya, yang abadi hanyalah kepentingan.

Sehingga upaya yang dilakukan oleh politisi untuk mendapatkan dukungan pemilih cenderung dilakukan dengan cara-cara yang keluar dari norma dan aturan main yang diperbolehkan.

Hal itu dilakukan semata untuk menduduki jabatan yang diinginkan.

 Apa mungkin, situasi inilah yang menyebabkan pemilih kian apatis terhadap pemilu dan pemilihan yang berlangsung, sehingga cenderung abai dan tidak berpartisipasi?(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Merdekakah Kita? 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved