Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bendera Topi Jerami: Dentuman Drum of Liberation di Riak Hari Merdeka

Kita pasang umbul-umbul, cat portal merah putih, dan mulai bersuara soal nasionalisme meski kadang tak sempat mengecat hati.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Muhammad Majdy Amiruddin Dosen Institut Agama Islam Negeri Parepare 

Oleh: Muhammad Majdy Amiruddin

Dosen Institut Agama Islam Negeri Parepare

TRIBUN-TIMUR.COM - Bulan Agustus, Bulan Merdeka. Di Bulan itu, bangsa ini seperti mengenakan baju merah putih paling barunya.

Dari tiang bambu sampai antena parabola, dari rumah bumbu hingga perahu layar, dari titik terendah di dasar laut hingga puncak Jaya Wijaya, semua berlomba jadi tempat paling mulia untuk sang saka berkibar.

Kita pasang umbul-umbul, cat portal merah putih, dan mulai bersuara soal nasionalisme meski kadang tak sempat mengecat hati.

Usai Upacara dilaksanakan, lagu dikumandangkan, lalu kita kembali ke rutinitas: macet, korupsi, dan update status. Tapi tak bisa dipungkiri, ada semacam getar yang tetap hadir tiap Agustusan, seolah tanah ini bisik-bisik ke dada kita.

Apakah engkau masih mengingat luka yang membuat kita ingin merdeka? 

Atau kini kita hanya mengulang seremoni sambil mencicil utang kemerdekaan?

Tahun ini, angin kemerdekaan membawa warna baru. Di antara kibaran Merah Putih, ada pula bendera bergambar tengkorak dan topi jerami.

Wah, jangan-jangan para bajak laut sedang cari suaka di Republik ini! Tapi anak-anak muda yang memasangnya tidak sedang bercanda.

Mungkin mereka sedang bilang: “Kami juga cinta negeri ini, tapi izinkan kami mencintainya dengan cara kami.” 

Sebab nasionalisme bukan hanya tentang berdiri tegap dan nyanyi di bawah tiang. Kadang ia hadir diam-diam, lewat gambar kartun dan rasa yang lebih jujur dari orasi.

Penulis telah membersamai petualangan Luffy sejak di pesantren. One Piece bukan sekadar cerita anak-anak yang mengejar harta karun.

Ia adalah kisah panjang tentang makna yang tak kunjung selesai ditafsir: tentang harga diri, janji pada diri sendiri, dan tentang arti kebebasan.

Tak seorang pun tahu pasti apa itu One Piece, namun mereka tetap berlayar. Sang tokoh utama bahkan meluapkan amarah saat sahabatnya ingin mengetahui makna sebenarnya dari harta itu.

Sebab yang membuat manusia bertahan bukanlah hasil akhir, tapi perjalanan yang menjaga mereka tetap hidup.

Bangsa ini pun demikian: kemerdekaan dulu bukan soal apa yang didapat, tapi tentang tidak lagi diinjak. Merah Putih bukan hanya warna, tapi luka yang dijahit menjadi bendera.

Dalam semesta One Piece, bendera bukan sekadar kain. Ia adalah jiwa yang dikibarkan.

Ketika Luffy melindungi bendera Chopper dari meriam Wapol, ia sedang berdiri bukan demi gambar, tapi demi makna, harga diri, dan kenangan seseorang yang telah pergi namun tetap dikenang.

Menurunkan bendera ibarat mencabut akar dari tanah tempat seseorang berdiri.

Maka bagi para bajak laut, lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan bendera. Bendera bukan hanya dikibarkan, tapi dijaga dengan hidup yang jujur.

Mungkin itu yang sedang diingatkan oleh generasi yang tak selalu hadir dalam upacara, tapi diam-diam menangis saat mendengar lagu “Tanah Air.” Sebab bendera, sejatinya, hidup di dalam dada.

Kini, simbol-simbol pop culture mulai merangsek masuk ke ruang-ruang sakral. Jangan buru-buru menyebutnya dangkal atau kebarat-baratan.

Sebab kadang, kejujuran justru lebih banyak ditemukan dalam komik ketimbang buku pelajaran. Anak-anak muda itu bukan mengganti Merah Putih, mereka hanya menambahkan warna dalam cara mencintai tanah air.

Mereka bilang: “Kami pun ingin adil, damai, dan bebas, tapi jangan paksa kami menyanyikannya dalam nada yang tak kami pahami.”

Inilah zaman ketika nasionalisme tidak lagi hanya berdiri di upacara, tapi juga duduk diam menonton anime dengan mata berkaca-kaca. Karena, siapa bilang cinta tanah air harus selalu serius dan berjas lengkap?

Kata Stuart Hall, budaya populer itu seperti taman bermain makna. Apa yang terlihat lucu, bisa jadi serius.

Apa yang dianggap hiburan, bisa mengandung perlawanan. Simbol dalam pop culture bisa jadi senjata bagi mereka yang tak punya podium.

Anak-anak muda itu sedang menyuarakan keresahan, tapi dengan bahasa yang hanya mereka dan layar ponsel mereka pahami.

Mereka tidak sedang mencela bangsa, tapi sedang memintanya mendengar. Barangkali karena terlalu lama diam, mereka akhirnya berbicara lewat bendera bajak laut, karena podiumnya terlalu tinggi untuk dijangkau.

Dalam Islam, ada istilah tafa’ul, ungkapan harap dari lambang-lambang yang dipilih semesta.

Bukan syirik, bukan tahayul, tapi semacam doa tanpa kata yang disampaikan lewat tindakan. Maka mengibarkan bendera Luffy bukan sekadar gaya-gayaan.

Barangkali itu adalah cara anak muda hari ini berdoa: “Ya Tuhan, izinkan negeri ini menjadi tempat di mana mimpi tidak ditertawakan.”

Simbol bisa lebih fasih dari ceramah, jika yang mendengar adalah hati. Dan kalau Tuhan memang Maha Mendengar, semoga Ia juga mendengar dari arah tiang bendera yang tak resmi itu.

Sebab harapan, tak selalu lahir dari khutbah, kadang dari komik yang dibaca saat lampu mati.

Dulu, Iwan Fals hanya pakai gitar, tapi suaranya menembus pagar-pagar istana. Wiji Thukul tak punya panggung, tapi puisinya sampai ke ruang-ruang pengadilan. Unyil cuma boneka, tapi siapa sangka ia bisa menyentil kekuasaan dengan bahasa anak-anak. Kini, anak muda punya anime, punya internet, dan punya simbol-simbol baru untuk bicara. Mereka tidak diam, hanya sedang bicara dalam dialek zaman yang berbeda. Jangan buru-buru menuduh mereka lupa sejarah—bisa jadi mereka sedang menulis sejarah dengan font yang kita belum kenal. Dan kalau bangsa ini bijak, ia akan mendengar, bukan mencela

Kita bisa memilih untuk mencibir, bisa pula memilih untuk mendengar sebab suara kebenaran kadang muncul dari tempat yang tak diduga.

Dari simbol fiksi pun bisa tumbuh kesadaran yang lebih tulus dari sekadar upacara formalitas.

Bendera yang dikibarkan itu bukan soal benangnya, bukan soal warnanya, tapi soal jiwa yang mengibarkannya.

Kalau ada anak muda yang memilih bendera Topi Jerami, siapa tahu mereka sedang melukis Indonesia dengan palet yang belum sempat kita cicipi.

Barangkali di sana, di ujung tiang bendera itu, ada impian tentang negeri yang adil dan ramah bagi semua.

Dan kita yang tua-tua ini, jangan buru-buru menghakimi. Tugas kita bukan melarang mimpi, tapi memastikan mimpi itu sempat tumbuh sebelum layu.

Maka menjelang 17 Agustus, kita duduk sebentar saja, menanyakan pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar merdeka?

Merdeka dari ketakutan yang membusuk dalam diam, dari apatisme yang menyamar jadi modernitas, dari luka sejarah yang belum mau sembuh.

Merah Putih akan tetap jadi pusat semesta kita, tapi kadang kita butuh bintang kecil lain untuk mengingatkan arah layar.

Seperti Drum of Liberation dalam One Piece yang bukan sekadar tabuhan perang, tapi degup jiwa yang rindu pulang.

Bukankah bangsa ini juga berdiri bukan untuk menjadi paling kuat, tapi untuk menjadi manusia sepenuhnya?

Yang bebas bukan karena tak punya aturan, tapi karena tahu cara menyayangi kebebasan. Dan menyayangi itu, kata pujangga, sering kali lahir dari imajinasi.

Mengibarkan bendera Topi Jerami bukan berarti menorehkan silang pada makna Merah Putih.

Itu hanya cara anak-anak zaman ini menjerit dalam bahasa yang kita belum tentu mengerti.

Tapi bukankah setiap generasi memang punya caranya sendiri dalam mencintai tanah air?

Namun cinta pun perlu ditata, seperti bunga dalam vas, agar harum tak lepas, dan keindahan tak berubah jadi gaduh.

Dalam hukum negara, kita tahu, Merah Putih tak bisa disejajarkan dengan lambang lain. Maka biarlah bendera fiksi itu tetap di bawah Sang Saka—bukan sebagai hinaan, tapi sebagai penghormatan.

Karena dari penataan itu, kita belajar: bahwa kreativitas dan kehormatan bukan musuh bebuyutan, melainkan saudara yang lama tak saling sapa.

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved