Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

H. Muchtar Lutfi, Pejuang Sunyi yang Layak Jadi Pahlawan Nasional

ia menetap di Makassar dan menjadi Imam Besar Masjid Raya serta Ketua Masyumi cabang Sulawesi. Ia lantang menolak federalisme dan teguh membela NKRI

Editor: Muh. Abdiwan
DOKUMENTASI
Andi Emil Fitrah Ramadhani  

Oleh: Andi Emil Fitrah Ramadhani

Pengiat Sejarah

TRIBUN-TIMUR.COM - Nama H. Muchtar Lutfi mungkin terdengar asing bagi banyak orang. Di Makassar, ia hanya dikenang lewat nama jalan kecil di dekat Pantai Losari. Ribuan orang melintasinya setiap hari, namun sedikit yang tahu siapa tokoh di balik nama itu. Padahal, jejak perjuangannya membentang dari Minangkabau hingga Sulawesi Selatan.

Muchtar Lutfi lahir di Padang Panjang pada 1883 dari keluarga ulama. Ayahnya, H. Abdul Latief Rasyidi, memimpin Surau Jembatan Besi, pusat pendidikan Islam yang berpengaruh.

Ia belajar kepada Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka, dan tumbuh sebagai pemuda kritis serta tajam dalam berpikir. Kariernya sebagai pendidik di OSVIA dan Sekolah Raja harus terhenti karena tulisannya yang anti-kolonial. Ia lalu bermigrasi ke Malaysia, Mekkah, hingga Kairo.

Di Mesir, ia aktif di partai Hizbul Wathan dan menerbitkan majalah Seruan Al-Azhar serta Pilihan Timur bersama Ilyas Ya’kub. Lewat media itu, Muchtar menyuarakan nasionalisme dan semangat anti-penjajahan.

 Sekembalinya ke tanah air pada 1931, ia bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan menjabat Ketua Dewan Propaganda.

Ia juga mendirikan sekolah bagi perempuan, sebuah langkah progresif pada masa itu, dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan membentuk muslim yang cerdas dan berdaya.

Ia kemudian dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintah kolonial pada 1934 bersama para tokoh pergerakan lainnya. Setelah bebas, ia menetap di Makassar dan menjadi Imam Besar Masjid Raya serta Ketua Masyumi cabang Sulawesi. Ia lantang menolak federalisme dan teguh membela Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Puncak ketegangan terjadi pada Jumat, 4 Agustus 1950. Dalam khutbah Jumat di Masjid Raya, Muchtar Lutfi menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan KNIL yang kala itu masih aktif di Sulawesi.

Ia juga mengajak pedagang untuk memboikot penjualan barang kepada serdadu KNIL dan keluarganya. Khutbah itu disiarkan lewat radio dan menyebar luas. Catatan Republik Indonesia Sulawesi menyebut bahwa siaran tersebut menyulut kemarahan KNIL.

Keesokan paginya, Sabtu 5 Agustus 1950, usai salat Subuh, rumah Muchtar disatroni serdadu KNIL. Ia ditembak di tempat dan gugur sebagai syahid perjuangan. Ia tidak mati sebagai prajurit bersenjata, tetapi sebagai tokoh moral yang teguh menjaga integritas Republik hingga akhir hayat.

Muchtar Lutfi bukan hanya aktivis dan ulama, ia juga pemikir. Ia menulis buku Hikmatul Mukhtar yang menyoroti isu adat, kolonialisme, dan pendidikan. Ia dikenal sebagai orator ulung, ideolog kebangsaan, dan pendidik progresif.

Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Muslimin AR Effendy MA, dosen sejarah di FIB Unhas, Muchtar Lutfi adalah nasionalis tulen dengan pandangan jernih bahwa kebangsaan adalah jalan menuju Islam yang mulia.

Pandangan ini ia sampaikan dalam debat publik bersama A. Hassan dari Persis yang difasilitasi langsung oleh Bung Karno di Bandung.

Halaman
12
Tags
Opini
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Manuver KPU RI

 

Taubat Politik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved