Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sidang Uang Palsu UIN

Saksi Ahli Sidang Uang Palsu Soroti Penetapan DPO dan Pencabutan BAP Annar Sampetoding

Kuasa hukum terdakwa uang palsu Annar Sampetoding menghadirkan Dosen Hukum UMI Dr Hardianto Janggih sebagai saksi ahli

Penulis: Sayyid Zulfadli Saleh Wahab | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM/Sayyid
UANG PALSU - Ahli hukum pidana sekaligus Dosen Ilmu Hukum UMI, Dr Hardianto Janggih menjadi saksi ahli terhadap terdakwa Annar Salahuddin Sampetoding pada sidang uang palsu di ruang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Jl Usman Salengke, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Rabu (30/7/2025) 

TRIBUN-TIMUR.COM, GOWA - Kuasa hukum terdakwa Annar Salahuddin Sampetoding menghadirkan saksi ahli dalam persidangan sindikat uang palsu

Sidang di ruang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Jl Usman Salengke, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (30/7/2025) sore

Sidang dipimpin hakim ketua Dyan Martha Budhinugraeny, dan dua hakim anggota yakni Yenny Wahyuningtyas dan Syahbuddin

Dihadiri dua Jaksa Penuntut Umum (JPU), Basri Baco dan Aria Perkasa.

Terdakwa Annar didampingi dua kuasa yakni ‎Sultani, Ashar Hasanuddin dan ‎Andi Jamal Kamaruddin

Kuasa hukum Annar menghadirkan saksi ahli Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Hardianto Janggih.

Hardianto menyebut sudah 76 kali menjadi saksi ahli dalam persidangan. Namun baru pertama kali jadi saksi ahli pada kasus pemalsuan mata uang rupiah.

Konsentrasi Hardianto sebagai ahli pidana formil dan materil.

Baca juga: Annar Sampetoding Dimintai Rp100 Miliar Maju Pilgub Sulsel, Gagal Lalu Terlibat Sindikat Uang Palsu

Sultani mengawali pertanyaannya seputar penetapan daftar pencarian orang (DPO) dikeluarkan polisi.

Hardianto menyebut penetapan DPO haruslah diawali dengan panggilan resmi dan pemeriksaan awal.

“Jika langsung ditetapkan DPO tanpa dua alat bukti dan proses pemeriksaan, maka bertentangan dengan hukum acara pidana serta prinsip perlindungan hak asasi,” jelasnya.

Ia menyinggung potensi pencemaran nama baik jika penetapan DPO  sebelum ada proses hukum sah.

Apalagi jika diumumkan di media tanpa dasar hukum yang kuat. 

“Nama seseorang bisa rusak hanya karena opini publik, padahal belum tentu bersalah. Kecuali diinisialkan,” tuturnya.

Dalam hukum pidana, pembuktian harus didasari dua alat bukti sah dan diyakini hakim.

“Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim didukung minimal dua alat bukti. Jika proses pemeriksaan tidak sah, maka keterangan dihasilkan tidak memiliki nilai pembuktian,” tegas Hardianto.

Ia juga menyoroti pentingnya unsur mens rea (niat jahat) dalam tindak pidana. 

“Jika mens rea tidak ditemukan, maka pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” ucapnya.

Awalnya Hardianto menerangkan teori dolus dan culpa atau kesengajaan dan kelalalian pada suatu tindak pidana.

Kata dia, suatu tindak pidana diawali  mens rea atau niat jahat. Sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali bila dengan niat jahat.

Baca juga: Dituntut 6 Tahun Penjara, Terdakwa Uang Palsu Ambo Ala Minta Maaf

Majelis hakim menanyakan pencabutan BAP di tingkat penyidikan terdakwa dalam persidangan

Ia menjawab dalam pasal 163 dan 169 KUHAP pencabutan BAP terdakwa bisa bernilai jika ber kesesuaian. Namun hal tersebut dikembalikan sesuai keyakinan hakim untuk menentukan suatu perbuatan terdapat tindak pidana. 

Hakim menyinggung terdakwa telah didampingi penasihat hukum saat pemeriksaan di kepolisian dan kejaksaan, namun tetap mencabut BAP.

Saksi ahli pun menyerahkan penilaian tersebut kepada hakim. "

"Kalau belakangan BAP tersebut dicabut oleh terdakwa maka seluruhnya adalah kewenangan hakim dalam hal ini penilaian hakim berdasarkan fakta persidangan," tambahnya.

Pemeriksaan saksi ahli sempat bersitegang dan adu argument antara Dr Hardianto dengan Jaksa Basri Baco.

Jaksa Basri menanyakan soal proses penggeledahan harus izin pengadilan sesuai penyataan saksi ahli 

Hardianto menjawab dalam proses penangkapan dan penggeledahan, aparat penegak hukum wajib mengantongi izin dari pengadilan sesuai diatur dalam KUHAP. 

“Kecuali dalam keadaan mendesak, barulah tindakan itu bisa dilakukan terlebih dahulu, namun harus tetap dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.

Jaksa Basri kembali menanyakan pencabutan BAP terdakwa dalam proses persidangan.

Dijelaskan Hardianto, jika tidak ditemukan mens rea berarti pelaku tidak melakukan kesalahan dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Terlebih proses formil dan materil tingkat lidik dan sidik tidak sesuai.

"Silahkan keyakinan hakim menentukan," katanya

Dalam hukum pidana, pembuktian harus didasarkan pada dua alat bukti  sah dan diyakini hakim. 

Menurutnya, peraturan kapolri (Perkab) tidak memiliki kedudukan hukum  sejajar dengan undang-undang. 

“Jika Perkab bertentangan dengan KUHAP, maka tidak dapat dijadikan landasan hukum karena tidak memiliki hirarki perundang-undangan,” katanya.

Ia menegaskan pentingnya gelar perkara dalam proses penyidikan. 

“Jika tidak gelar perkara, maka penyelidikan dan penyidikan bisa dihentikan karena tidak memenuhi prosedur,” jelasnya.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved