Klakson
Putusan 135 MK
Lalu amar putusan MK yang meleraikan pemilu nasional dan lokal dianggap melanggar konstitusi negara.
Kedua, model jadwal pemilu serentak yang lalu-lalu, menguatkan politik transaksional dalam proses kandidasi, baik dalam pemilu maupun dalam pilkada.
Partai politik menjadi sangat pragmatis dalam mendorong Celeg dan calon kepala daerah (Cakada).
Mereka cenderung mendorong caleg dan Cakada berdasarkan popularitas dan ketebalan dompet. Sementara aspek kualitas kandidat terpinggirkan. Hasilnya, tentulah tak sesuai kebutuhan demokrasi.
Sialnya, pelanggaran dalam proses pemilihan—terutama dugaan politik uang—walau nyata tetapi sulit diringkus sebab pengumpulan bukti-bukti yang butuh waktu terbentur oleh ringkasnya masa penanganan—pemutusan perkara pelanggaran pemilu.
Belum diputus, masa pemerkaraan pelanggaran diputus oleh durasi waktu yang kadaluarsa.
Disini, pemilu gagal menjadi proses seleksi kepemimpinan demokratis dan batal menjadi filter kepemimpinan berkualitas-berintegritas.
Ketiga, partisipasi pemilih dalam pemilu serentak seperti 2024 lalu cenderung menguatkan wacana politik pembangunan nasional dibanding wacana politik pembangunan lokal.
Padahal, problem warga kabupaten/kota lebih dekat dengan Caleg DPRD Provinsi dan daerah kabupaten/kota dibanding caleg DPR RI dan DPD.
Isu-isu politik pembangunan nasional mengalir deras, sementara isu politik pembangunan lokal yang berkait dengan problem lokal hanya terpajang di baliho.
MK berpendapat bahwa masalah pembangunan lokal harus tetap menjadi fokus. Tentulah aspek ini perlu.
Keempat, berkait dengan problem sebelumnya—keserentakan pemilu dengan desain 2024 lalu membuat pemilih tak menimbang jernih sebelum menjatuhkan pilihannya.
Melimpahnya jumlah kandidat, model surat suara yang rumit, dan ketersediaan waktu yang mendesak bagi pemilih berdampak pada keringnya pertimbangan pemilih dalam memilah kandidat yang hendak dipilih.
Belum lagi bila pemilih menjadi sasaran politik uang. Disini, pemilu tak berfungsi sebagai filter calon pemimpin.
Pemilu mengingkari watak dasarnya sebagai “pemilihan” diantara bertaburnya pilihan.
Dengan kata lain, pemilih sebenarnya tak memilih, tetapi mencoblos kandidat sesuai arahan tertentu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.