Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Rifqy Tenribali Eshanasir

Penangkapan Duterte: Kemenangan Hukum Internasional Melawan Impunitas

Penahanan Duterte merupakan peristiwa bersejarah, terlepas dari konteks persaingan politik domestik di Filipina.

Editor: Sudirman
Rifqy Tenribali Eshanasir
OPINI - Rifqy Tenribali Eshanasir, Alumnus program Sarjana Hubungan Internasional dan Studi Perdamaian Ritsumeikan Asia Pacific University (Jepang),dan program Pasca Sarjana Hukum Internasional dan Diplomasi Australian National University (ANU, Canberra), Peneliti pada Centre for Peace Conflict and Democracy, Universitas Hasanuddin. 

Oleh: Rifqy Tenribali Eshanasir

Alumnus program Sarjana Hubungan Internasional dan Studi Perdamaian Ritsumeikan Asia Pacific University (Jepang)

TRIBUN-TIMUR.COM - PENANGKAPAN mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang dilakukan berdasarkan surat perintah dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), merupakan peristiwa penting kemenangan hukum internasional dalam melawan impunitas dan menegakkan keadilan di Filipina dan Asia secara umum.

Penahanan Duterte merupakan peristiwa bersejarah, terlepas dari konteks persaingan politik domestik di Filipina.

Penangkapan Duterte menandai puncak upaya panjang para pembela hak asasi manusia, akademisi dan aktivis masyarakat sipil yang telah lama berjuang melawan rezim yang
terjerat pelanggaran hak asasi manusia.

Peristiwa ini mengisyaratkan tidak ada pemimpin yang dapat menghindari pertanggungjawaban dan keadilan.

Kebrutalan Perang Melawan Narkoba

Fokus penyelidikan ICC terkait kebijakan mematikan Duterte dalam “perang melawan narkoba” (“war on drugs”) yang diperkirakan telah merenggut 12.000 hingga 30.000 nyawa, sebagian besar di antaranya adalah komunitas paling rentan (kalangan miskin) di Filipina.

Kekejaman “perang melawan narkoba” ini memperlihatkan dampak mematikan suatu kebijakan yang Duterte tujukan sebagai langkah untuk memulihkan hukum dan ketertiban di Filipina.

Namun, dalam praktiknya, pembunuhan di luar proses hukum ini (extrajudicial killing) sangat banyak terjadi dan telah meruntuhkan institusi demokratis dan membungkam perbedaan pendapat, membuat banyak keluarga hancur dan kebebasan sipil yang terkikis.

Nyatanya, sebagian besar korban kebijakan “war on drugs” Duterte hanya pengguna dan pengedar narkoba kelas rendah dari kalangan miskin, bukanlah pengedar narkoba pada skala besar.

Para profesional, peneliti dan lembaga kesehatan dan sosial yang bekerja di bidang penanggulangan narkotika sudah lama gencar mengingatkan perlunya meninggalkan kebijakan “war on drugs” dan mengutamakan pendekatan ilmiah dan terukur.

Manuver terencana Duterte untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban internasional semakin menegaskan beratnya tindakannya.

Yang paling mencolok, dia mengatur penarikan Filipina dari Statuta Roma, perjanjian yang mendirikan ICC, dengan tujuan untuk melindungi pemerintahannya dari pengawasan.

Meskipun begitu, ICC tetap mempertahankan yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan Duterte.

Pada September 2021, sebuah kamar praperadilan secara resmi memulai penyelidikan terhadap “perang melawan narkoba” setelah menerima lebih dari 200 perwakilan korban, memastikan bahwa suara mereka yang terpinggirkan dan tak terdengar tidak akan hilang di tengah-tengah manuver politik.

Selama satu dekade, kebijakan Duterte menindas banyak masyarakat di Filipina. Sejak menjabat pada 2016, rezimnya melancarkan teror dengan dalih memerangi narkoba.

Di negara yang pernah bangga telah memainkan peran aktif dalam membentuk tatanan hukum internasional dan mengesahkan undang-undang domestik yang kokoh untuk pertanggungjawaban, keputusan pemerintah pada Maret 2018 untuk menarik diri dari Statuta Roma mengirimkan pesan yang tegas dan mencekam tentang berkurangnya komitmen terhadap keadilan.

Kemenangan Hukum Internasional

Penangkapan Duterte oleh ICC mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia yakni tidak ada pemimpin yang berada di atas hukum.

Perkembangan ini sangat signifikan di Asia, di mana preseden pertanggungjawaban internasionalsangat jarang.

Duterte kemungkinan besar menjadi mantan kepala negara pertama dari Asia yang diadili di ICC, sebuah momen bersejarah yang membongkar hawa impunitas dan
menegaskan komitmen global terhadap keadilan dan hak asasi manusia.

Para pendukung Duterte tentu mengecam penangkapan ini sebagai campur tangan eksternal dalam urusan domestik.

Namun, kenyataan mendasar adalah para korban “perang melawan narkoba” sudah lama terpinggirkan dan tanpa suara, berhak mendapatkan keadilan yang melampaui kepentingan politik sesaat.

Pengadilan domestik Filipina sudah berulang kali gagal memberikan pertanggungjawaban yang sangat dibutuhkan oleh para korban ini.

Kasus Duterte ini tentu bukan hanya masalah hukum dan politik belaka, tetapi juga mencakup prinsip bahwa martabat manusia harus lebih diutamakan daripada kepentingan politik sesaat.

Komunitas internasional harus menolak kepentingan sempit yang mengkompromikan keadilan dan sebaliknya berkomitmen secara kolektif untuk menegakkan hak asasi
manusia melawan kekerasan negara. 

Implikasi bagi ASEAN

Dalam konteks ini, peran mekanisme internasional seperti ICC bukan hanya pelengkap, tetapi esensial, sebuah pengawasan terhadap kekuasaan negara dan pelindung hak asasi manusia.

Kasus penting ini juga mendorong kita untuk meninjau kembali implikasi yang lebih luas bagi ASEAN dan komunitas internasional.

Bagi ASEAN, penangkapan Duterte bukanlah peristiwa hukum yang terisolasi, melainkan panggilan untuk mendefinisikan ulang prinsip-prinsip kedaulatan, pertanggungjawaban,
dan hak asasi manusia di kawasan.

ASEAN sudah sedang mengalami krisis hak asasi manusia sejak kudeta oleh tentara Myanmar pada February 2021, yang sampai sekarang masih belum ada jalan keluarnya dan
sudah mematikan ribuan orang selama empat tahun.

ASEAN, yang secara tradisional dipandu oleh norma non-intervensi tradisional, kini terdorong untuk mengadopsi sikap yang lebih proaktif.

Sebenarnya, ASEAN sudah menyatakan tekadnya untuk mempromosikan hak asasi manusia secara regional sejak disahkan Program Aksi Vientiane 2004.

Dengan demikian, ASEAN mesti mendorong kerjasama lebih kuat antara institusi regional dan internasional seperti ICC untuk menetapkan preseden pertanggungjawaban dan keadilan.

Bagi ASEAN, kasus Duterte menunjukkan perlunya mencari jalan tengah antara prinsip non-intervensi dan kemampuan membela hak asasi manusia secara lebih proaktif,
menguatkan nilai-nilai demokrasi serta mekanisme hukum internasional.

Meskipun perjuangan untuk hak asasi manusia di Asia Tenggara masih jauh dari selesai, namun tindakan tegas seperti penangkapan Duterte tak pelak lagi merupakan angin segar
menuju masyarakat yang lebih adil di kawasan.*

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved