Opini Rifqy Tenribali Eshanasir
Ketegangan di Laut China Selatan: Bagaimana Indonesia Semestinya Bersikap?
Hal ini termasuk sengketa yang telah berlangsung selama puluhan tahun di sepanjang gugusan pulau Spratly, Paracel, dan Pratas
Oleh: Rifqy Tenribali Eshanasir
Alumnus program Sarjana Hubungan Internasional dan Studi Perdamaian Ritsumeikan Asia Pacific University (Jepang),dan program Pasca Sarjana Hukum Internasional dan Diplomasi Australian National University (ANU, Canberra), Peneliti pada Centre for Peace Conflict and Democracy, Universitas Hasanuddin.
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa ketegangan dan sengketa maritim tingkat tinggi di sepanjang wilayah perairan Laut China Selatan (LCS), perairan yang sangat penting bagi perdagangan internasional dan berbatasan dengan beberapa negara termasuk China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam dan juga Indonesia, masih terus berlanjut hingga kini.
Hal ini termasuk sengketa yang telah berlangsung selama puluhan tahun di sepanjang gugusan pulau Spratly, Paracel, dan Pratas, serta Selat Malaka dan Singapura.
Masalah diplomatik antara China dan Indonesia terjadi pula meskipun Indonesia bukan pengklaim (non claimant state)dalam sengketa LCS. Pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyetujui pernyataan bersama dengan China untuk kemitraan maritim.
Pernyataan bersama tersebutmencakup “pengembangan bersama di wilayah dengan klaim yang tumpang tindih (di LCS) dan sepakat membentuk suatu Komite Pengarah Bersama Antar Pemerintah,” padahal Indonesia dan China sama sekali tidak memiliki wilayah dengan klaim yang tumpang tindih.
Sebuah langkah yang dianggap kontroversial dan impulsif karena secara tidak langsung mengakui Sembilan Garis Putus-Putus China yang tidak berdasarkan hukum laut internasional.
Masyarakat di Indonesia dan di negara-negara ASEAN umumnyamemandang perselisihan di LCS sebagai konflik berdimensi kompleks dan jangka panjang serta belum banyak memperlihatkan prospek penyelesaian atau deeskalasi(peredaan ketegangan).
Namun sebenarnya kita juga mulai menyaksikan beberapa perkembangan baik terkait konflik LCS seperti terwujudnya kepakatan sementara (provisional agreement) pada bulan Juli 2024 antara Filipina dan China – dua negara pengklaim (claimant) yang paling bermusuhan di LCS.
Kesepakatan sementara ini menghasilkan sejumlah kemajuan bermakna, misalnya memungkinkan dilakukannya misi pasokan ke kapal Sierra Madre milik Filipina yang terdampar di sepanjang Second Thomas Shoal yang disengketakan, dan mengurangi ketegangan antara nelayan dan penjaga pantai masing-masing.
Kesepakatan sementara ini –tertuang dalam Pasal 74(3) dan 83(3) UNCLOS – menunjukkan bahwa mekanisme hukum laut internasional mampu secara cukup efektif memitigasi ketegangan di LCS.
Hal ini juga menjadi angin segar bagiisyu LCS dan bagi sejumlah negara ASEAN termasuk Indonesia yang kini dilanda kecenderungan peningkatan militerisasi di pulau-pulau terluar, penumpukan dan modernisasi senjata angkatan laut, serta meningkatnya bentrokan antar kapal yang mengakibatkan tabrakan dan penggunaan selang air dalam bentrokan tersebut.
Sebagai mekanisme penyelesaian sengketa hukum, kesepakatan sementara yang dilaksanakan dengan cukup cepat antara Filipina dan China terkait sengketa LCS dapat dibandingkan dengan perundingan ASEAN-China mengenai Kode Etik di LCS (Code of Conduct/CoC) yang telah lama mengalami stagnasi.
CoC terkait LCS mengalami perkembangan lambat sejak tahun 2002. Lebih dari dua puluh tahun kemudian, negara-negara ASEAN dan China hanya mampu menyepakati ‘rencana kerja’ untuk implementasi deklarasi tentang CoC, yang tercermin dalam ‘lokakarya, pelatihan, dan seminar untuk mendorong dialog dan membangun kepercayaan.’
Nasib CoC, yang diharapkan akan menjadi mekanisme penyelesaian sengketa LCS utama selama beberapa tahun ini, masih belum pasti.
CoC di LCS ini akan tetap berada dalam kondisi ketidakpastian selama klaim dari negara-negara anggota ASEAN didasarkan pada UNCLOS sementara klaim China didasarkan pada apa yang mereka sebut 'hak historis'.
Begitu pula kalau China mempertahankan penolakannya terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Tetap 2016 yang menguntungkan Filipina, serta deklarasinya (sesuai dengan Pasal 298 UNCLOS) untuk menolak menggunakan prosedur penyelesaian sengketa yang disetujui UNCLOS.
Namun secara paradoks, selama krisis kilat di LCS, Filipina dan China masih dapat dengan cukup cepat bernegosiasi dan mewujudkan kesepatakatan dadakan untuk meredakan setiap manuver yang berlebihan.
Selain itu, sementara negosiasi ASEAN-China untuk CoC di LCS tampak lamban, kawasan ini diperkirakan akan menghadapi lebih banyak tantanganbaru.
Antara lain dapat kita lihat melalui transfer dana antarnegara-negara yang tergabung dalam kemitraan militer AUKUS (Australia, Inggris dan Amerika Serikat) untuk mengirimkan kapal selam bertenaga nuklir ke Australia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.