Opini Rifqy Tenribali Eshanasir
Mewaspadai Ketegangan di Selat Taiwan
China senantiasa menganggap Taiwan sebagai bagian integral wilayahnya, meskipun wilayah pulau itu memiliki pemerintahan secara mandiri sejak 1949.
Oleh: Rifqy Tenribali Eshanasir
Peneliti di Centre for Peeace, Conflict and Democracy, Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Sulit dipungkiri bahwa kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi, ke Taiwan baru-baru ini telah semakin meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan, bahkan di Laut China Timur dan kawasan Asia Timur secara umum.
Kunjungan Pelosi memang segera ditanggapi keras pihak China.
Tak menunggu lama setelah kunjungan tersebut, China mengirim pesan tegas berupa pengerahan latihan militer gabungan di Selat Taiwan, termasuk penembakan rudal-rudal konvensional jarak jauh sepert rudal balistik di perairan Taiwan.
Latihan militer di atas termasuk praktis memblokade Taiwan.
China senantiasa menganggap Taiwan sebagai bagian integral wilayahnya, meskipun wilayah pulau itu memiliki pemerintahan secara mandiri sejak 1949.
Pada tahun tersebut, pemimpin komunis Mao Ze-dong menguasai Beijing dan seluruh China daratan setelah mengalahkan pemimpin Kuomintang (Nasionalis) Chiang Kai Shek yang menyingkir dan mendirikan pemerintahan Taiwan.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, secara lantang memperingatkan pihak AS bahwa negeri mereka telah melanggar kedaulatan China dengan alasan demokrasi.
Pelosi memang menyebut kunjungannya ke Taiwan sebagai tanda dukungan pada demokrasi, termasuk demokrasi di Taiwan.
Hingga tulisan ini dibuat, pihak AS memang belum menanggapi manuver China berupa latihan militer di atas, namun sebagaimana luas diketahui pihak AS memiliki pangkalan dan asset militer kuat di kawasan tersebut, termasuk kapal induk, yang bisa dikerahkan
setiap saat.
Deeskalasi Konflik
Sebenarnya sejumlah kalangan sudah berusaha memberi peringatan bagi Pelosi untuk mengurungkan kunjungan ke Taiwan, namun kunjungan tersebut tetap terjadi juga.
Dalam kondisi seperti saat ini ketika ketegangan makin meningkat maka yang sangat perlu dilakukan adalah penurunan suhu ketegangan (deeskalasi konflik). Deeskalasi sangat perlu didorong oleh semua pihak untuk mencegah peluang terjadinya konflik terbuka atau perang yang kita tahu akan merugikan semua kalangan.
Sejumlah negara dan organisasi telah menyerukan pentingnya deeskalasi konflik tersebut. Pada hari kedua pertemuan antara kelima menteri luar negeri (menlu) Perhimpuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penn, Kamboja, misalnya, para menlu menyatakan perlunya mewaspadai persaingan negara-negara besar, terutama AS dan China di kawasan Asia Tenggara maupun Asia Timur.