Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Prof Andi Adri Arief

Dari Utopia Minapolitan ke Harapan Kampung Nelayan Merah Putih: Pelajaran dari Pesisir Sulsel

di Bulukumba, Pangkajene dan Kepulauan, hingga Maros menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan Minapolitan tidak berjalan sesuai rencana

Editor: AS Kambie
Tribun Timur
PENULIS OPINI - Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi, Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto ini diterima Tribun-Timur.com dari Prof Andi Adri Arief pada September 2025 untuk keperluan identitas penulis Opini Tribun Timur. 

Oleh: Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi

Guru Besar Sosiologi Perikanan Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Jejak Minapolitan (Kota Ikan) di pesisir Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, kini nyaris hilang—menyisakan monumen sunyi dari utopia pembangunan yang gagal menyentuh nelayan kecil. Program yang dulu digadang sebagai masa depan perikanan modern itu telah lenyap dari ingatan kolektif.

Di tengah jejak kegagalan itu, Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) hadir dengan janji baru: lebih sederhana, lebih dekat dengan kebutuhan rumah tangga nelayan. Tetapi pertanyaannya, akankah program ini benar-benar menjadi jalan keluar, atau hanya mengulang sejarah Minapolitan?

Utopia Minapolitan: Kawasan Pesisir dalam Mimpi Pertumbuhan
Pembangunan Minapolitan sejak satu dekade lalu, adalah konsep pembangunan berbasis kawasan. Ia dirancang untuk mengintegrasikan produksi, pengolahan, dan pemasaran dalam satu sistem yang efisien dan modern. Narasi besar yang dibawa adalah modernisasi pesisir: nelayan akan mendapat akses ke pelabuhan yang lebih baik, rantai pasok yang terhubung, bahkan peluang ekspor.

Namun sejak awal, program ini menuai kritik. Minapolitan terlalu berorientasi pada peningkatan produksi semata. Orientasi semacam ini berbahaya karena mengejar pertumbuhan hasil tangkap dan budidaya tanpa memikirkan kelestarian stok ikan maupun tata kelola pasar.

Produksi yang melimpah justru berisiko menekan harga ikan domestik, apalagi ketika Indonesia masih lebih banyak mengekspor ikan gelondongan murah ketimbang produk olahan bernilai tambah.

Di lapangan, kegagalan Minapolitan tampak nyata. Studi lapangan di Jawa Timur menunjukkan hanya 6 dari 63 kegiatan Minapolitan yang terealisasi; kegagalan ini dipicu oleh lemahnya koordinasi dan minimnya partisipasi nelayan.

Tingkat pemahaman masyarakat terhadap program bahkan kurang dari 10 persen—angka yang mencerminkan jurang lebar antara dokumen kebijakan dan realitas di lapangan. Tidak mengherankan bila kini Minapolitan lebih banyak dikenang sebagai monumen gagal daripada warisan pembangunan.

Jika di Jawa Timur program ini nyaris tak berjalan, di Sulawesi Selatan cerita serupa juga terulang. Kajian evaluatif di Bulukumba, Pangkajene dan Kepulauan, hingga Maros menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan Minapolitan tidak berjalan sesuai rencana. Hambatan utama adalah keterbatasan pendanaan, lemahnya koordinasi antar-aktor, serta minimnya keterlibatan masyarakat pesisir dalam setiap tahap.

Bahkan, di beberapa lokasi, program hanya meninggalkan jejak infrastruktur kecil yang sulit memberi manfaat langsung bagi nelayan. Fakta ini memperkuat gambaran bahwa Minapolitan tidak hanya gagal di Jawa, tetapi juga meninggalkan “monumen sepi” di Sulawesi Selatan.

Kampung Nelayan Merah Putih: Membumi di Kehidupan Nyata
Berbeda dengan pembangunan kawasan Minapolitan, KNMP menawarkan konsep pendekatan yang lebih membumi. Fokusnya bukan pada kawasan industri perikanan, melainkan pada komunitas desa nelayan yang nyata. KNMP menjanjikan perbaikan rumah, akses gizi, sekolah rakyat, koperasi, hingga fasilitas logistik yang langsung menyentuh “dapur rumah tangga nelayan” dalam kehidupan sehari-hari.

Saat ini, pemerintah telah menetapkan 65 lokasi tahap pertama melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 55 Tahun 2025, dengan anggaran Rp1,34 triliun. Targetnya, 100 kampung nelayan akan dibangun pada 2025, dan hingga 2029 total 1.100 kampung nelayan di seluruh Indonesia. Fasilitas yang disiapkan meliputi dermaga, jalan, listrik, cold storage, pabrik es, bengkel nelayan, kios logistik, hingga SPBN.

Bahkan setiap lokasi diproyeksikan menyerap rata-rata 700 tenaga kerja, sehingga KNMP tidak hanya menyediakan infrastruktur, tetapi juga lapangan kerja permanen.
Namun sejarah pembangunan pesisir mengajarkan, sebaik apa pun deretan fasilitas fisik, tanpa transformasi sosial ia sering menjadi bangunan tanpa ruh.

Sulawesi Selatan: Laboratorium Kampung Nelayan Merah Putih
Dari 65 lokasi tahap pertama, enam berada di Sulawesi Selatan: Aeng Batu-Batu (Takalar), Angkue (Bone), Bentenge (Bulukumba), Balangloe Tarowang (Jeneponto), Untia (Makassar), dan Tongke-Tongke (Sinjai).

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved