Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Libur

Sebab orang-orang nyatanya terus beraktifitas walau tak berurusan dengan dunia pekerjaannya. 

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Libur
abdul karim
OPINI - Abdul Karim, Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora.

Oleh; Abdul Karim

Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Dizaman ini, libur bukan lagi tentang istirahat, tak lagi berkaitan dengan rehat.

Sebab orang-orang nyatanya terus beraktifitas walau tak berurusan dengan dunia pekerjaannya. 

Libur kini adalah sebuah tempo yang tak kering hiruk-pikuk. Seperti masa libur pekan kemarin, orang-orang bergerak serentak untuk liburan dimana saja sesuai selera. 

Dan menariknya, sebab fenomena libur bergeser luas ke level semua kalangan. Dulu, libur dan liburan seolah hanya berlaku bagi manusia-manusia pekerja kantoran.

Kini, libur-liburan juga berlaku bagi orang-orang yang tak punya pekerjaan kantoran pula. 

Fenomena itu, kita jumpai pekan lalu. Orang-orang dari luar kota ini berdatangan memboyong sanak family—konon untuk liburan.

Arus lalu lintas di daereh kabupaten menuju kota ini cukup padat. Mereka berbondong ke kota untuk liburan. Kota ini, dikepung kaum liburan. 

Dikota ini, nyaris tak ada apartemen menganggur. Sanak family memenuhi bilik apartamen.

Sementara mal disemuti pengunjung dari daerah yang berlibur di kota. Tenant jajan panen raya.

Toilet mal antri berdesak. Sekilas, kita anggap fenomena itu sebagai indikasi ekonomi stabil. Padahal, saat kembali ke rumah, dompet bagai menderita vertigo. 

Negeri ini memang terasa negeri paradoks. Sebab, resesi ekonomi kian sulit; daya beli turun, jumlah kelas menengah berkurang, pengangguran banyak, ancaman PHK, anak muda susah cari kerja, dan sebagainya. Tetapi antusias liburan tak pernah surut. 

Hasrat untuk liburan kian tinggi. Dan semuanya hendak diketahui sedang berlibur. Maka, foto dan video berlibur diproklamirkan di ruang-ruang medsos. “Libur itu indah”, kata nitizen. 

Rhenald Kasali professor bisnis menyebut fenomena itu dengan istilah “lipstick effect”.

Lipstik effect adalah kondisi perubahan gaya konsumsi masyarakat pada kondisi ekonomi tertentu.

Ia menilai masyarakat kini mencari hiburan yang terjangkau dalam rangka mendapatkan kebahagiaan.

Dan liburan merupakan salah satu keterjangakauan yang dimaksud. Namun benarkah begitu?

Apakah pasca liburan ekonomi masyarakat kita tetap terjangkau? Entahlah. 

Libur tak lagi berurusan dengan menenangkan tubuh dalam ruang tempo tertentu.

Libur, tak lagi berkaitan dengan keterjangakaun ekonomi—sebagaimana teori Rhenald Kasali itu.

Libur, tak lagi berkaitan dengan kelas sosial, sebab semuanya termobilisasi untuk berlibur.

Dengan demikian, liburan kini sebenarnya berkait dengan hasrat yang membuncah untuk memuntahkan rasa. Rasa apa? Rasa puas yang sebenarnya tak punya titik klimaks pas. 

Namun, ketika tabung gas langka, keindahan liburan tak ada maknanya lagi. Pemihakan negara dan pemerintahlah solusinya. Dimana negara? Kemana pemerintah? Kita berharap mereka tak liburan pula.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved