Ngopi Akademik
Uang Palsu dan Pilkada Palsu
Kejadian ini mengguncang dan menambah daftar panjang berita kontroversial yang terjadi di daerah ini.
Ironisnya, uang palsu yang ditemukan ini memberi bahan bakar baru bagi teori-teori konspirasi yang berkembang.
Ada kalangan yang mengaitkan hal ini dengan politik uang dalam pilkada, seolah-olah menjadi gambaran bagaimana kekuasaan dibeli. Apakah kasus ini menjadi simbol dari politik yang kotor dan tidak jujur?
Masyarakat Sulawesi Selatan, yang notabene sangat peduli terhadap nilai-nilai kejujuran dan transparansi, tentu merasa geram jika demokrasi mereka dirusak oleh praktik-praktik yang tidak bermoral.
Di warkop-warkop, ada yang menyindir dengan tawa penuh satire: "Kalau uang saja bisa palsu, kenapa pilkadanya tidak?"
Pernyataan ini mungkin terdengar lucu, tapi di balik tawa itu, ada kegetiran yang dalam.
Ada perasaan bahwa apa yang mereka lihat dan baca berita atau media sosial tentang calon-calon kepala daerah hanyalah tampilan permukaan. Banyak yang merasa bahwa di balik pencitraan kampanye, ada realitas yang jauh lebih suram.
Bahkan, muncul ungkapan: "Yang asli cuma janji, hasilnya selalu palsu." Ini menggambarkan bagaimana harapan masyarakat terhadap perubahan sering kali pupus oleh kenyataan yang tidak seindah janji kampanye.
Lebih jauh, distrust ini juga mengancam legitimasi hasil pilkada itu sendiri.
Ketika masyarakat merasa bahwa sistemnya sudah 'rusak' atau 'dicurangi', maka kepercayaan terhadap siapa pun yang terpilih akan sangat minim. Hasil pilkada, jika tidak dikelola dengan baik, bisa saja dicap sebagai "pilkada palsu."
Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan proses demokrasi. Demokrasi tanpa kepercayaan adalah demokrasi yang rapuh, yang mudah digoyahkan oleh isu-isu dan spekulasi.
Skandal uang palsu ini pun seakan menjadi katalis yang mempercepat keretakan kepercayaan masyarakat.
Di tengah obrolan ringan di warkop, semakin banyak orang yang mempertanyakan, apakah pilkada ini hanya sebuah formalitas yang diwarnai oleh kepalsuan di setiap lapisannya?
Kepalsuan janji, kepalsuan dukungan, bahkan kepalsuan dalam suara rakyat?
Jika demikian, apakah kita benar-benar sedang menjalani proses demokrasi yang otentik, atau sekadar menjalani ritus demokrasi yang telah kehilangan jiwanya?
Penemuan pabrik uang palsu di kampus yang disebut "Kampus Peradaban" justru menjadi ironi besar bagi masyarakat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.