Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Membenahi Pilkada 

Benarkah begitu? Tunggu dulu. Diatas kertas kita bisa menilai. Berbulan-bulan penyelenggara dilatih intensif hingga beberapa hari jelang pencoblosan.

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
Sekretaris Umum Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Sulsel, Abdul Karim 

Oleh; Abdul Karim

Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Pilkada serentak usai. Kegembiraan kontestan pemenang tumpah ruah.

Kekalutan pihak yang kalah mengalir seraya memprotes penyelenggara (KPU dan Bawaslu). Tudingannya tak jauh-jauh; penyelenggara melanggar, hingga tak profesional. 

Benarkah begitu? Tunggu dulu. Diatas kertas kita bisa menilai. Berbulan-bulan penyelenggara dilatih intensif hingga beberapa hari jelang pencoblosan pada 27 November lalu.

Tujuannya, agar mereka profesional. Pertanyaannya; apakah tim dan pendukung kontestan dilatih intensif dengan durasi berbulan-bulan pula? Kita tak tahu. 

Kita pun bisa menilai kualitas pilkada dari tingkat  partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak lalu.

Tersiar dikanal-kanal media massa, menyebut partisipasi warga dalam pencoblosan begitu rendah dibanding Pemilu lalu.

Dan penyelenggara pula dituding sebagai pemicu. Maka muncullah wacana meng-adhoc-kan penyelenggara. 

Sejumlah pihak mewacanakannya. Pertanyaannya; benarkah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak lalu disebabkan kinerja penyelenggara?

Sebab faktanya, penyelenggara justeru rutin berkegiatan ditengah masyarakat. Malah kontestan, parpol dan tim, sibuk bermasyarakat saat musim kampanye. 

Lebih tegas lagi, presiden Prabowo Subianto mempidatokan pemilihan kepala daerah dimasa datang dipilih oleh DPRD kabupaten/kota dan provinsi.

Pidato itu disampaikan presiden Prabowo pada acara puncak HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis (12/12/2024) malam.

Pidato lirih Prabowo Subianto itu memetik keheranan publik dan tentu saja terkesan mendualisme.

Sebab disatu sisi, presiden Prabowo Subianto hendak memajukan demokrasi Indonesia. Tetapi pidatonya yang berisi tentang pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD justeru adalah pemikiran mundur.

Sebab pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan tradisi demokrasi Orde Baru yang justeru tidak demokratis. Memajukan demokrasi dengan pemikiran mundur tentu sesuatu hal yang rumit dimengerti publik. 

Penilaian presiden Prabowo bahwa pilkada serentak menelan anggaran besar adalah persoalan besar.

Sebab alasan anggaran besar itu berefek pada keinginan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Tentu ini bukan pemikiran maju, malah tergolong pemikiran mundur. 

Anggaran besar untuk pilkada tak patut dipersoalkan sebab pembiayaannya dibiayai oleh pemerintah daerah. Dan faktanya, sejak pilkada pertama 2005 silam hingga 2024 pelaksanaan pilkada tak pernah tersendat hanya gegara anggaran. 

Pidato presiden Prabowo Subianto itu terlalu dini. Seharusnya ada evaluasi komprehensif lebih dahulu tentang pelaksanaan pilkada serentak 2024 lalu.

Evaluasi itu tentu harus menyertakan banyak pihak, bukan saja pemerintah, KPU-Bawaslu, dan parpol, tapi juga unsur masyarakat.

Dari situ dilihat aspek-aspek kekurangan atau kelemahan pelaksanaan pilkada. Kelemahan dan kekurangan inilah yang harus dibenahi secara regulatif—konstitusional. 

Bila kita lihat, kelemahan dan kekurangan pilkada selama ini adalah, aspek kompetensi aktor pilkada yang sangat rendah.

Parpol sebagai pengusung kandidat tak menetapkan standar ketat sumberdaya manusia dalam penjaringan calon kepala daerah.

Yang sering dijaring parpol pengusung adalah mereka yang berdompet tebal yang mampu membeli tiket parpol. Padahal, transaksi tiket kendaraan parpol ini statusnya “haram” menurut ketentuan. 

Akhirnya, yang diusung parpol dalam pilkada adalah mereka yang berduit tanpa menghiraukan aspek sumberdaya manusia.

Situasi ini berkaitan juga dengan fenomena sentralisme partai politik. Pengurus parpol di daerah tak punya kewenangan menentukan calon kepala daerah di daerahnya masing-masing. Sebab yang berhak menentukan adalah jajaran pengurus pusat partai politik. 

Tentu saja fenomena ini tergolong tidak demokratis—sebab keputusan pengusungan calon kepala daerah terpusat di Jakarta.

Maka wajar saja bila kekecewaan pengurus parpol di daerah seringkali menggema, sebab calon kepala daerah yang diajukan justeru ditolak jajaran pengurus parpol pusat.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved