Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

RUU Perampasan Aset Terancam Mangkrak Lagi, Baleg DPR Tak Berani Jamin Masuk Prolegnas

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tak menjamin memasukan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

Editor: Alfian
Kompas TV
Massa demo tuntut pengesahan RUU Perampasan Aset beberapa waktu lalu. 

Berdasarkan kacamata yuridis, mekanisme perampasan aset dalam sistem hukum Indonesia terdiri atas tiga mekanisme, yaitu secara pidana oleh aparat penegak hukum (APH) melalui proses hukum dan memperoleh putusan pengadilan yang final dengan Jaksa yang bertindak sebagai pelaksana eksekusi dengan menyita barang bukti atau aset terkait.

Kedua, secara perdata apabila perkara tidak terdapat bukti yang cukup dan tersangka meninggal dunia namun secara nyata terdapat kerugian negara maka Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan gugatan Perdata. Ketiga, secara administratif melalui cukai, pajak, ataupun kepabean. 

Sayangnya, ketiga mekanisme tersebut masih kurang efektif karena APH harus membuktikan terlebih dahulu kerugian negara sehingga memberi kesempatan bagi tersangka/terdakwa untuk menyamarkan aset miliknya agar terlepas dari proses pembuktian oleh APH.

Dengan demikian, hadirnya RUU Perampasan Aset diharapkan mampu mengatur penerapan prinsip pembuktian terbalik sehingga beban pembuktian tidak lagi berada di tangan APH melainkan pada tersangka.

Kehadiran RUU pada umumnya tidak terpisahkan dari substansi RUU itu sendiri.

Menurut hemat penulis, sudah saatnya Indonesia selaku negara yang meratifikasi United Nations Against Corruption (UNCAC) menjadikan beberapa prinsip dasar perampasan aset diadopsi dalam muatan pengaturan UU Perampasan Aset. 

Di samping itu, setidaknya ada beberapa muatan penting menurut penulis yang perlu diatur apabila kelak Indonesia mengacu pada ketentuan UNCAC.

Pertama, diperlukan “definisi spesifik yang tercantum dalam undang-undang yang mengatur perampasan aset”. Definisi tersebut bertujuan untuk membatasi dan mengklarifikasi makna yang diberikan kepada istilah tersebut agar tidak terjadi penafsiran ganda.

Kedua, perlu ditetapkan “jenis-jenis tindak pidana, aset yang dirampas, dan penelusuran aset”.

Penentuan jenis-jenis tindak pidana dan aset yang dirampas menjadi penting sebagai panduan bagi APH dalam menangani berbagai jenis tindak pidana dan menentukan aset mana yang dapat dirampas.

Selain itu, penelusuran aset juga harus diatur karena ini merupakan mekanisme yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melacak dan menemukan aset yang diduga berasal dari tindak pidana.

Ketiga, perlu diatur “prosedur pemblokiran, penyitaan, dan perampasan’.

Ketentuan ini sangat penting sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas pemblokiran aset, penyitaan aset, dan perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana.

Keempat, diperlukan “subjek perampasan aset” dengan spesifik.

Pengaturan mengenai subjek ini akan mencegah terjadinya masalah dalam pelaksanaan perampasan aset jika terdakwa meninggal dunia, terdakwa bebas dari tuntutan, atau terdakwa melakukan upaya hukum lainnya.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved