Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sengketa Pemilu

KPU Pasang Badan Usai Megawati dan Rizieq Shihab Kirim Amicus Curiae ke MK, Rencana PDIP Kandas?

Megawati Soekarnoputri dan Habib Rizieq Shihab telah mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi.

|
Editor: Ansar
Kolase Tribun-timur.com
Ketua Umum PDIP Megawati, anggota KPU RI Idham Holik (tengah) dan Rizieq Shihab. 

Lalu, Megawati mendeklarasikan hasil kontemplasinya yang menjadi pedoman kebenaran yang kini tengah dicari dan diperjuangkannya: kebenaran tentang tegaknya demokrasi dan keadilan di negeri ini.

Ia pun mengharapkan para hakim MK mendasarkan diri pada, pertama, kebenaran adalah kebenaran.

Kedua, dalam mengambil putusan, para hakim mendasarkan diri pada kejernihan pikiran dan hati nurani.

Ketiga, qana’ah, prinsip merasa cukup terhadap apa yang ada. Keempat, prinsip utrenja (bahasa Rusia) yang berarti fajar.

Maksudnya, di Indonesia ini, tak ada yang bisa mengubah hukum alam bahwa fajar menyingsing di ufuk timur.

Dipuji Anies Baswedan

Calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan memuji langkah Megawati Soekarnoputri menyerahkan dokumen amicus curiae terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di MK.

Baginya, hal itu menunjukan bahwa kondisi Tanah Air memang tak baik-baik saja.

“Ini menggambarkan bahwa situasinya memang amat serius dan seperti kami sampaikan pada saat pembukaan persidangan di MK bahwa ini Indonesia di persimpangan jalan,” ujar Anies di kediamannya, Jalan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (16/4/2024)

Baginya, putusan MK akan menjadi jalan apakah Indonesia akan kembali ke masa orde lama ketika sebuah kontestasi elektoral sudah diatur.

Atau sebaliknya, Indonesia akan bakal meneruskan amanat reformasi.

“Di mana demokrasi memberikan ruang kebebasan dan tidak ada intervensi-intervensi di dalam proses pemilu, proses pilpres,” sebut dia.

Di sisi lain, Anies meminta semua pihak menjadikan dokumen amicus curiae yang diberikan Megawati pada MK sebagai perhatian.

Pasalnya, Megawati merupakan salah satu tokoh yang ikut memperjuangkan demokrasi sejak pemerintahan orde lama.

“Saya rasa pesan dari Ibu Mega, sebagai salah satu orang yang ikut dalam proses demokratisasi sejak tahun 1990 an,” ucap Anies.

“Beliau merasakan ketika segalanya serba diatur, di mana pemilu dan pilpres pada masa itu enggak perlu ada surveyor, karena semua sudah tahu hasil sebelum proses pemilu saat itu,” tuturnya.

Apa Signifikansi dan Modal Sosial Megawati Melakukan Amicus Curiae?

Lalu, orang pun mulai bertanya, apa signifikansi dan modal sosial Megawati melakukan amicus curiae tersebut?

Di antara anak-anak bangsa yang ada di negeri kita sekarang ini, Megawati yang paling kompeten dan memiliki legitimasi kuat untuk amicus curiae.

Megawati melakukan itu karena ia gelisah menyaksikan dan mengalami betapa Pilpres 2024 ini, surplus dengan adegan aksi tuna moral dan padat dengan masalah-masalah yuridis, terutama masalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.

Megawati tak tahan menyaksikan bagaimana pat gulipat politik dijalankan di negeri ini, hanya untuk meloloskan putra penguasa untuk menjadi orang nomor dua.

Kemandirian Mahkamah Konstitusi terkesan sekali diinjak-injak.

Hukum diporak porandakan, dan sebagainya.

Legitimasi moral Megawati untuk urusan ini, sangat kuat karena pada 2004, ia sedang menjabat sebagai presiden dan maju berkompetisi lagi, tetapi tidak pernah menunjukkan gelagat kecurangan.

Tak ada bisik berbisik bahwa ia mendesakkan keinginan untuk menang dengan cara menggunakan polisi, pegawai negeri, dan segala organ negara lain.

Megawati sangat defisit dalam hal membelanjakan uang negara secara semena-mena guna menyogok rakyat untuk memenangkan dirinya.

Megawati juga tidak mengakali penyelenggara pemilu.

Tak pula menyiasati MK.

Ia menjalani kontestasi sesuai aturan.

Karena itu, ketika ia keluar Istana, ia berhak membusungkan dada dan bebas menoleh ke kiri dan kanan karena ia tidak terbebani oleh dosa demokrasi.

Langkahnya amat ringan.

Tak ada fitnah yang mengikutinya dari belakang.

Ia harum semerbak.

Pada 2014, Megawati mengurungkan niat menjadi calon presiden, dan memberi kesempatan kepada Jokowi.

Megawati mengikuti keinginan rakyat.

Ia tidak memaksakan kehendak agar dirinya dicalonkan oleh PDI-P, partai yang dilahirkan dan dipimpinnya.

Pada Pilpres 2024, lagi-lagi Megawati mendengar keinginan rakyat.

Putri tunggalnya, Puan Maharani tidak didesakkan untuk dicalonkan oleh PDI-P sebagai calon presiden.

Megawati memberikan mandat itu ke orang lain, Ganjar Pranowo.

Dengan rentetan pristiwa tersebut, sangat jelas bahwa Megawati memiliki legitimasi moral kuat untuk melakukan amicus curiae, yang berkaitan dengan hasil pilpres 2024 lalu.

Megawati melakukan itu bukan untuk kepentingan pribadinya karena ia sukses menanggalkan segala hal mengenai kepentingan dan keuntungan pribadinya selama ini.

Maka, tatkala ia berpekik, ia merepresentasi pekikan publik.

Bukan pekikan diri atau dinastinya.

Tatkala Megawati meradang, ia mewakili orang banyak yang juga meradang dalam hal akhlak berpolitik.

Manakala Megawati berseru dan mengharapkan Mahkamah menjadi temannya, ia bermaksud secara serius bahwa seruan dan harapannya, adalah seruan dan harapan warga negara lain

Bukan monopoli diri dan dinastinya. Kita bisa menyaksikan gerakan moral serupa, juga dilakukan oleh para guru besar dari pelbagai perguruan tinggi.

Mereka adalah orang-orang yang ditakdirkan Tuhan menjadi penjaga hati nurani dan moral bangsa.

Mereka bukan makhluk yang penuh siasat dan keculasan untuk merebut tahta kekuasaan.

Para guru besar itu, lahir untuk asyik mencari kebenaran sesuai bidang keilmuan yang mereka miliki.

Mereka lahir hanya untuk mengabdi.

Bukan saling sikut untuk berkuasa tanpa landasan moral.

Para akademisi itu, tak memiliki pretensi.

Tak ada saru dan nihil topeng yang mengelabui kita semua.

Langkah Megawati bersama para guru besar adalah langkah moral yang beredar dalam wilayah hati nurani. Bukan langkah yang berputar-putar tiada ujung dalam wilayah hitung menghitung suara.

Mereka menuntut keadilan substantif. Bukan keadilan statistik. Megawati bersama para guru besar melakukan amicus curiae karena mereka meyakini, para hakim masih memiliki hati nurani, sebagaimana mereka memiliki hati nurani.

Para hakim masih memiliki keteguhan hati untuk menegakkan demokrasi, sebagaimana mereka buktikan selama ini, bahwa demokrasi harus diperjuangkan.

Kesamaan itulah yang membuat mereka bersahabat. Hanya itu yang ada. Tidak perlu ditafsirkan secara liar tujuan dan motif mereka.

John Marshal, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat yang paling lama (1801-1835) berkata: “The judiciary is the safeguard of our liberty and of our property under the constitution” (lembaga peradilan menjaga kebebasan dan kepemilikan kita, yang dijamin oleh Konstitusi).

Karena fungsinya itu, lembaga peradilan memegang peranan dan tanggungjawab krusial untuk menegakkan prinsip-prinsip fundamental tentang kebebasan dan keadilan dalam masyarakat demokratis.

Semoga para hakim Mahkamah Konstitusi kita, menjalankan prinsip yang sama dengan hakim legendaris Amerika Serikat itu.

Bila demikian, maka Raden Ajeng Kartini, sebagaimana yang dikutip oleh Megawati dalam amicus curiae yang dikirim ke Mahkamah Konstitusi, sangat benar: Habis Gelap, Terbitlah Terang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved