Opini
Kierkegaard, Manusia dan Fitrah
Saat ini kita telah berada di penghujung bulan keberkahan. Suatu titik dimana kita menanti lantunan takbir.
Kierkegaard, Manusia dan Fitrah
Oleh: Andi Farid Baharuddin
Dosen di Fakultas Sastra Universitas Sawerigading Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Saat ini kita telah berada di penghujung bulan keberkahan.
Suatu titik dimana kita menanti lantunan takbir untuk melaksanakan shalat ied secara kolektif dan dengan kesadaran kolektif.
Penantian tersebut tercermin pada harapan setiap insan untuk kembali menjadi fitrah.
Dalam kehidupan sosial, makna fitrah memilki tafsiran yang beragam.
Ada beberapa anggapan dari masyarakat luas yang mengartikan konsep fitrah dengan mengenakan penampilan baru seperti pakaian, celana, aksesoris, dll.
Tentu anggapan ini tak dapat disalahkan karena masifnya produk kapitalisme menghegemoni masyarakat kita melalui instrument Iklan ditayangkan di berbagai media TV, radio, media sosial dll.
Jika merujuk penjelasan Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbach-nya (2005), kata fithrah dapat diartikan suci atau bebas dari dosa.
Terhapusnya dosa kita merupakan akumulasi dari proses ritualitas kita seperti puasa, shalat, sedekah, dan zakat kepada masyarakat fakir & miskin yang dilakukan selama bulan romadhon sebagai bulan pembakar (Suyanta, 2022).
Sehingga, dengan kembali “suci” eksistensi kita sebagai manusia berubah menjadi pribadi yang baru tanpa setitik noda.
Hanya saja, sebagai makhluk diberi akal oleh Allah swt, perubahaan diri mesti diarahkan padahal yang konstruktif demi mendapat ridha ilahi.
Olehnya, untuk melakukan perubahaan diri, kita terlebih dahulu mesti mendiagnosis karakteristik kesadaran diri kita lalu mengambil langkah tepat untuk berubah.
Level Kesadaran
Untuk mendiskusikan hal ini, saya meminjam cara pandang Soren Kierkegaard, filsuf eksistensialis, mengenai level kesadaran manusia yakni estetis, etis, dan religius.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.