Opini
Kierkegaard, Manusia dan Fitrah
Saat ini kita telah berada di penghujung bulan keberkahan. Suatu titik dimana kita menanti lantunan takbir.
Sebab, fitrah semua manusia yang lahir adalah beriman kepada sang khalik.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim “Kullu mauludin yuladdu alal fitrah”, setiap anak yang lahirkan dalam keadaan fitrah (beriman).
Beriman tidak hanya sekedar melisankan kedua syahadat. Perwujudan dari iman ialah menerima rukun yang ditetapkan dan melaksankannya dengan ikhlas.
Untuk mencapai tahap ini, manusia diharuskan bermetamorfosis dari kesadaran nafsu duniawi menuju kesadaran ilahi.
Manusia yang masih berada di tahap estetis, mesti melepas ketergantungannya pada suatu objek materil untuk memperoleh kebahagian hidup.
Ketergantungan tersebut mesti kembali pada penghambaan sang khalik melalui amalan sholeh.
Di bulan Ramadhan, kesadaran iman tidak hanya mendorong ritualitas vertical/hablum minallah (seperti shalat, puasa, dzikir, dll) tetapi juga ritualitas horizontal/hablum minnanas (sedekah dan zakat).
Dengan menjalakan kedua ritualitas, maka kitapun berharap mendapatkan pengampunan dosa dari-Nya.
Sehingga, saat kita menyambut idul fitri, kita telah berada pada puncak kesadaran religius dan telah bermetamorfisis menjadi makhluk sosial dan spiritual.
Kini, masih ada berapa hari terakhir untuk merenungkan kembali diri kita.
Apakah kita masih berada di tahap kesadaran estetis, etis, atau mulai bertransformasi menjadi kesadaran religius.
Tentu, dengan kesadaran tersebut, kita berharap mendapat predikat fitrah dari Allah swt. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.