Opini
Ketika Pancasila Tidak Ada di Tahun Politik
Direktur Eksekutif Setara Institut Halili Hasan menilai masih rendahnya kinerja pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila.
Namun demikian, diksi cawe- cawe tersebut, harus jelas parameternya, sebagaimana diingatkan oleh Mantan Wakil Presiden 2 Periode H.M. Jusuf Kalla bahwa perlunya batasan-batasan dalam kaitan cawe-cawe.
"Pokoknya tentu masing-masing mengerti batasannya bahwa untuk melaksanakan demokrasi yang baik, pelaksanaannya jurdil, itu kita harapkan, kita dukung," ujarnya.
Jadi, batasan cawe- cawe harus jelas dalam prakteknya. Masalahnya, praktek cawe-cawe tersebut sudah berindikasi ketidakadilan.
Gejalanya sudah mulai kasat mata berupa fenomena upaya penjegalan salah satu Capres ( Anies Baswedan) sebagaimana diungkapkan Yusuf Wanandi (Pendiri CSIS) dalam wawancaranya di Kompas TV.
Dalam konteks pemilihan presiden di Indonesia, jika seorang presiden terlibat dalam "cawe-cawe" (ikut campur -intervensi dalam pemilihan-), ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum terkait dengan kejujuran dan integritas proses pemilihan.
Di bawah hukum Indonesia, tindakan semacam itu mungkin melanggar beberapa ketentuan, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Undang-Undang ini mengatur pemilihan umum di Indonesia.
Jika seorang presiden terlibat dalam "cawe-cawe", hal itu dapat melanggar ketentuan yang menjamin keadilan, kejujuran, dan integritas pemilihan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Undang-Undang ini mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia.
Jika seorang presiden melakukan intervensi dalam pemilihan presiden di tingkat daerah, hal itu dapat melanggar ketentuan undang-undang ini terkait dengan otonomi daerah.
Jika seorang presiden tidak netral dan berpihak pada salah satu calon di pemilihan presiden pada pemilihan umum, hal itu akan dapat menimbulkan banyak masalah dan konsekuensi yang serius.
Sebagai presiden, seharusnya bisa menjalankan tugasnya secara adil dan netral, serta memberikan penghargaan pada integritas demokrasi.
Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi jika seorang presiden tidak netral dalam pemilihan presiden:
1. Akan terjadi ketidakadilan dalam proses pemilihan: Ketika seorang presiden tidak netral, integritas proses pemilihan dapat terganggu. Keputusan dan tindakan presiden yang tidak netral dapat mempengaruhi mekanisme pemilihan umum.
2. Kekuasaan akan cenderung disalahgunakan. Seorang presiden yang tidak netral dapat menggunakan kekuasaannya untuk mendukung calon yang diinginkannya. Hal ini menciptakan keadaan yang tidak seimbang dan merugikan calon-calon lain, serta mengancam prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan persaingan yang adil.
3. Menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Jika presiden tidak netral, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada pemilihan presiden dan pemerintahan. Ini dapat mengakibatkan polarisasi yang lebih besar dalam masyarakat, meningkatkan ketegangan politik, dan merusak stabilitas negara.
4. Akan berpengaruh buruk pada lembaga pemerintahan dimana ketidaknetralan seorang presiden dalam pemilihan presiden dapat merusak independensi dan otonomi lembaga-lembaga pemerintah. Hal ini bisa merusak keseimbangan kekuasaan yang seharusnya ada dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
5. Merosotnya reputasi internasional. Presiden yang tidak netral dalam pemilihan presiden dapat mendapat kritik dari komunitas internasional. Hal ini dapat merusak reputasi negara tersebut di mata dunia dan mengurangi kepercayaan serta kerjasama dengan negara lain.
Oleh karena itu, untuk menjaga integritas pemilihan dan kepercayaan publik, sangat penting bagi seorang presiden untuk tetap netral dalam pemilihan umum. Presiden harus bertindak sebagai pemimpin yang adil dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi serta kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Wallahu a’lam Bishawwabe. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.