Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ketika Pancasila Tidak Ada di Tahun Politik

Direktur Eksekutif Setara Institut Halili Hasan menilai masih rendahnya kinerja pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

aswar hasan
Aswar Hasan Dosen Fisipol Unhas 

Oleh: Aswar Hasan

Doseon FISIP Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM

Amanat Presiden tentang peran penting Pancasila sebagai fondasi berbangsa disampaikan sejalan dengan munculnya keprihatinan dari sejumlah pihak terkait implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari- hari.

Hasil jajak pendapat Kompas pada 25-29 Mei 2023 dengan melibatkan 508 responden dari 48 provinsi di Indonesia menunjukkan ada 30,1 persen responden yang menilai penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari- hari mulai ditinggalkan (Kompas,2/6/2023).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institut Halili Hasan menilai masih rendahnya kinerja pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

Bahkan, dalam survei Setara Institut bersama INFID yang melibatkan 947 responden siswa SMA di Bogor, Bandung, Surabaya, Padang dan Solo yang dilakukan pada Januari-Maret 2023 menunjukkan 83,3 persen responden mendukung persepsi Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya, bisa diganti.

Memang, sebagaimana dikatakan oleh peneliti Budaya dan Media Komunikasi Idi Subandy Ibrahim (Kompas,3/6/2023) bahwa Pancasila belum sepenuhnya menjadi kekuatan inspirasi, apalagi rujukan dalam bertindak, baik dalam politik maupun ekonomi.

Hal itu dapat kita lihat pada tata cara berpolitik bangsa ini, khususnya di tahun politik dalam berkompetisi secara demokratis yang prinsip utamanya tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesediaan untuk menerima dan siap berbeda.

Sikap Presiden untuk cawe-cawe (ikut campur) dalam kompetisi Pilpres di tahun politik 2024 adalah bentuk ketidakadilan politik seorang kepala negara yang tidak lazim dan hal itu bisa dianggap keluar dari prinsip kenegaraan yang berideologikan Pancasila.

Di depan sejumlah pemimpin media massa di Istana Negara, Jokowi tegas akan ikut cawe-cawe. Lebih dari tujuh kali Jokowi menyebutkan kata itu ketika ditanyai soal sosok capres pada Pemilu 2024 (Tempo,6/6/2023).

CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terang-terangan mengatakan akan cawe-cawe dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 merupakan pernyataan yang keluar dari norma dan tradisi demokrasi yang sehat.

Analis Politik itu pun menyebut bahwa seorang presiden seharusnya tidak terlibat dan melibatkan diri secara langsung dalam menentukan siapa penerusnya.

“Ikut terlibat dan bahkan menyatakan secara terbuka tidak akan netral dalam rangkaian proses pemilu 2024 adalah pernyataan yang tidak lazim dalam Negara yang demokratis, walaupun dibungkus dengan alasan demi bangsa dan negara,” katanya.

Terkait dengan cawe-cawe Presiden, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden Bey Machmudin menjelaskan, yang dimaksud cawe-cawe oleh Jokowi, yakni dilakukan untuk negara. Jokowi, kata Bey, ingin memastikan penyelenggaraan pemilu serentak 2024 bisa berlangsung demokratis, jujur, dan adil.

Namun demikian, diksi cawe- cawe tersebut, harus jelas parameternya, sebagaimana diingatkan oleh Mantan Wakil Presiden 2 Periode H.M. Jusuf Kalla bahwa perlunya batasan-batasan dalam kaitan cawe-cawe.

"Pokoknya tentu masing-masing mengerti batasannya bahwa untuk melaksanakan demokrasi yang baik, pelaksanaannya jurdil, itu kita harapkan, kita dukung," ujarnya.

Jadi, batasan cawe- cawe harus jelas dalam prakteknya. Masalahnya, praktek cawe-cawe tersebut sudah berindikasi ketidakadilan.

Gejalanya sudah mulai kasat mata berupa fenomena upaya penjegalan salah satu Capres ( Anies Baswedan) sebagaimana diungkapkan Yusuf Wanandi (Pendiri CSIS) dalam wawancaranya di Kompas TV.

Dalam konteks pemilihan presiden di Indonesia, jika seorang presiden terlibat dalam "cawe-cawe" (ikut campur -intervensi dalam pemilihan-), ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum terkait dengan kejujuran dan integritas proses pemilihan.

Di bawah hukum Indonesia, tindakan semacam itu mungkin melanggar beberapa ketentuan, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Undang-Undang ini mengatur pemilihan umum di Indonesia.

Jika seorang presiden terlibat dalam "cawe-cawe", hal itu dapat melanggar ketentuan yang menjamin keadilan, kejujuran, dan integritas pemilihan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Undang-Undang ini mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia.

Jika seorang presiden melakukan intervensi dalam pemilihan presiden di tingkat daerah, hal itu dapat melanggar ketentuan undang-undang ini terkait dengan otonomi daerah.

Jika seorang presiden tidak netral dan berpihak pada salah satu calon di pemilihan presiden pada pemilihan umum, hal itu akan dapat menimbulkan banyak masalah dan konsekuensi yang serius.

Sebagai presiden, seharusnya bisa menjalankan tugasnya secara adil dan netral, serta memberikan penghargaan pada integritas demokrasi.
Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi jika seorang presiden tidak netral dalam pemilihan presiden:

1. Akan terjadi ketidakadilan dalam proses pemilihan: Ketika seorang presiden tidak netral, integritas proses pemilihan dapat terganggu. Keputusan dan tindakan presiden yang tidak netral dapat mempengaruhi mekanisme pemilihan umum.

2. Kekuasaan akan cenderung disalahgunakan. Seorang presiden yang tidak netral dapat menggunakan kekuasaannya untuk mendukung calon yang diinginkannya. Hal ini menciptakan keadaan yang tidak seimbang dan merugikan calon-calon lain, serta mengancam prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan persaingan yang adil.

3. Menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Jika presiden tidak netral, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada pemilihan presiden dan pemerintahan. Ini dapat mengakibatkan polarisasi yang lebih besar dalam masyarakat, meningkatkan ketegangan politik, dan merusak stabilitas negara.

4. Akan berpengaruh buruk pada lembaga pemerintahan dimana ketidaknetralan seorang presiden dalam pemilihan presiden dapat merusak independensi dan otonomi lembaga-lembaga pemerintah. Hal ini bisa merusak keseimbangan kekuasaan yang seharusnya ada dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

5. Merosotnya reputasi internasional. Presiden yang tidak netral dalam pemilihan presiden dapat mendapat kritik dari komunitas internasional. Hal ini dapat merusak reputasi negara tersebut di mata dunia dan mengurangi kepercayaan serta kerjasama dengan negara lain.

Oleh karena itu, untuk menjaga integritas pemilihan dan kepercayaan publik, sangat penting bagi seorang presiden untuk tetap netral dalam pemilihan umum. Presiden harus bertindak sebagai pemimpin yang adil dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi serta kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Wallahu a’lam Bishawwabe. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved