Opini
DPRD Tidak Butuh Gedung Baru, Tapi Moral Baru
Api itu, betapapun destruktifnya, lahir dari bara ketidakpercayaan rakyat kepada lembaga perwakilannya.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Peristiwa pembakaran Gedung DPRD Makassar dan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pekan lalu meninggalkan luka sekaligus pertanyaan serius tentang hubungan rakyat dan wakilnya.
Tindakan perusakan dan pembakaran itu jelas tidak bisa dibenarkan, karena merusak fasilitas negara sama saja merugikan rakyat sendiri. Kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar dalam demokrasi.
Namun, di balik asap hitam yang mengepul dari puing gedung, kita perlu membaca pesan yang lebih dalam.
Api itu, betapapun destruktifnya, lahir dari bara ketidakpercayaan rakyat kepada lembaga perwakilannya.
DPRD, yang semestinya menjadi rumah aspirasi, justru sering dianggap berjarak dengan rakyat.
Konstitusi menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPRD seharusnya menjaga kepentingan rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan eksekutif.
Tetapi ketika DPRD justru dikenal lebih sering bertransaksi politik ketimbang memperjuangkan aspirasi, legitimasi itu runtuh.
Kebakaran gedung DPRD pekan lalu menjadi simbol rapuhnya kepercayaan publik.
Meski demikian, membenarkan aksi anarkis jelas keliru.
Demokrasi memberi ruang bagi protes dan kritik, tapi harus dilakukan dengan cara damai dan beradab.
Pemerintahan tidak boleh lumpuh hanya karena gedung rusak. Tugas DPRD tetap harus berjalan.
Karena itu, pemerintah daerah bisa menyiapkan ruang sementara yang representatif, misalnya Celebes Convention Center (CCC) bangunannya luas, modern, dan bisa menampung rapat pleno.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.