Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Banjir di Kota Tajir

Itu artinya, hujan sejak dulu ada, bukan hal baru, tetapi banjir dengan kualitas seperti kemarin rasanya fenomena belakangan.

Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN TIMUR
Abdul Karim ketua Dewas LAPAR Sulsel/anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora. Abdul Karim penulis tetap Rubrik Klakson di Tribun Timur. 

Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Mengapa tiba-tiba kota dunia ini berubah menjadi kota banjir, air menggenanginya disetiap ruangnya?

Pemerintah dan cerdik pandai menjawabnya dengan ringkas; “karena curah hujan yang tinggi”—seraya menyodorkan informasi satelit BMKG untuk menguatkan tuduhannya pada hujan.

“Hujan” disebutnya tersangka. Tanpa sadar, mereka mentersangkakan Tuhan sebenarnya.

Hujan tak dapat ditolak. Ia akan selalu ada sebagai mekanisme yang diciptakan Tuhan untuk merawat alam yang ia ciptakan.

Itulah rahmat, dan segala mahluk termasuk manusia harus memaknainya sebagai nikmat. Itu karenanya, hujan telah ada bahkan barangkali sebelum manusia menyata.

Tetapi mengapa kemudian hujan menjadi banjir dikota tajir ini?

Sejak kapan kota tajir ini banjir menggila seperti kemarin?

Sejak kapan kota tua ini tergenang banjir ketika hujan?

Sejak kapan kota tajir ini lumpuh bila banjir?

Murid kelas 3 SMP kota ini mampu menjawabanya; “sebelum-sebelumnya banjir dikota ini tak pernah separah kemarin”.

Itu artinya, hujan sejak dulu ada, bukan hal baru, tetapi banjir dengan kualitas seperti kemarin rasanya fenomena belakangan.

Dizaman Wali Kota Makassar, Dany Pomanto tercatat sebagai mahasiswa fakultas tekhnik Unhas kota ini tak pernah tergenang sekejam kemarin.

Sejumlah titik sebelumnya hanya tergenangi air, kini terbanjiri air. Orang-orang berpendapat tanpa dosa; “volume air memang tinggi kali ini”, katanya.

Padahal, sebenarnya, yang terjadi adalah ruang gerak dan ruang serap air yang kian menyempit.

Dunia mata dan dunia maya menyimak bagaimana banjir dikota ini menyingkirkan riang gembira warga.

Warga tidur nyenyak dimalam hari, dibangunkan banjir saat dini hari. Tak ada kopi panas dipagi hari diatas meja, yang ada adalah hantaman air banjir yang merangsek hingga kamar tidur.

Pakaian dan perabot rumah berantakan, sebagian hanyut sampai jauh. Dalam kondisi begini, tak ada waktu lagi bagi rakyat menyiapkan lauk-pauk dirumah.

Memesan pangan via on line pun tak mudah, sebab roda dua kurir Ojol terjebak ditengah gumpalan air banjir dimana-mana.

Seorang rekan bercerita usai mengevakuasi barang-barangnya yang terendam.

“Berak pun susah saat banjir, sebab kakus melakukan serangan balik. Tahi yang disiram kembali naik, lantaran bak WC full air banjir”.

Dengan keadaan begitu, ia mensiasati diri agar tak berak. Caranya, tak boleh kenyang. Nasi dan lauk pauk disantap sedikit demi sedikit. Dicicil bak kredit.

Begitulah banjir. Kendaraan-kendaraan terjebak di jalan-jalan utama. Di jalan-jalan utama seperti Jl. AP. Pettarani, kendaraan roda empat terkumpul bak pameran mobil.

Tak sedikit roda empat terendam disejumlah titik. Roda dua dimana-mana tak nyala mesinnya lantaran terendam banjir. Lautan kendaraan merana ditengah kota modern ini.

Mengapa banjir begini? Bukankah tahun-tahun sebelumnya banjir tak sekeji ini?

Pemerintah boleh menyewa ilmuan khusus dengan multi disiplin keahlian untuk mengkaji penyebabnya.

Tetapi yakin saja, sepanjang ilmuan yang diturunkan jujur sejujur-jujurnya maka hasilnya tak jauh-jauh dari ini; “berkurangnya ruang resap dan ruang gerak air yang turun dari langit”.

Lantas, mengapa ruang gerak dan ruang serap air itu berkurang? Jawabnya, karena kota ini dipenuhi investasi.

Mengapa investasi? Sebab kekuasaan mengundangnya dan ilmu pengetahuan membenarkannya. Ruang-ruang kota ini digali lalu ditimbun, lantas diatasnya berdiri megah bangunan modern.

Bahkan lautpun ditimbun, pasirnya dikeruk. Saluran drainase yang rutin dibersihkan Pemkot Makassar dengan dana tak sedikit tak ada gunanya saat hujan turun, sebab laut sebagai ruang pembuangan air drainase tak sanggup lagi menampungnya lantaran telah ditimbun berhektar-hektar.

Pilihan satu-satunya sang air, adalah mengepung ruang-ruang kota hingga mengalir ke pemukiman warga. Dan inilah hasil investasi.

Manusia menyangka dengan investasi, dengan kekuasaan, dan dengan ilmu pengetahuan alam ini dapat ditaklukkan.

Manusia lupa, ia diciptakan bukan untuk menaklukkan alam, tetapi untuk mengelolahnya dengan baik dan adil untuk kemashlahatan mahluk.

Tetapi argumen ini mungkin dianggap kolot. Padahal, kunci keselamatan adalah kemampuan mengapresiasi ketentuan dengan konsisten.

Hujan adalah ketentuan, memberinya ruang yang memadai adalah kepatutan.

Haruskah kita berdoa agar Tuhan menurunkan kembali perahu Nabi Nuh dikota tajir ini saat hujan tiba?

Atau pemerintah disilahkan menggelar tender terbuka pengadaan perahu sekelas perahu Nabi Nuh guna menampung warga disetiap banjir tiba.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved