Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Politisi Dalam Berita

Jauh sebelum Medsos meluas, wajah dan ujaran politisi memenuhi halaman-halaman surat kabar dan majalah.

Editor: Hasriyani Latif
Tribun Timur
Abdul Karim Ketua Dewas LAPAR Sulsel dan Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora. Abdul Karim penulis tetap Rubrik Klakson Tribun Timur. 

Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel dan
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Pers sungguh berharga dinegeri ini. Setiap tanggal 9 Februari, hari pers diperingati.

Dalam rangka itu, kita perlu merefleksikan kembali bagaimana pers mengapresiasi demokrasi dengan kabar berita politisi.

Jauh sebelum kita memasuki abad Android, wajah politisi selalu tertempel dilembaran media massa.

Jauh sebelum Medsos meluas, wajah dan ujaran politisi memenuhi halaman-halaman surat kabar dan majalah.

Di layar TV pun politisi senantiasa tampil, sejak era TVRI era 1960-an silam-jauh sebelum TV swasta merebak.

Sementara di level lokal, politisi pun hadir selalu di media massa lokal, entah cetak, entah media elektronik.

Kita ingat dizaman Orde baru, walau media massa ditekan sedemikian cara, wajah politisi dengan komentar-komentarnya selalu mengisi ruang-ruang media massa.

Pembredelan media massa dizaman suram itu tak menghentikan politisi mengisi ruang berita media massa.

Mereka terbit dan tersiar di media massa lainnya.

Dizamam Orba, istilah “politisi” belum seramai kini. Legislator (politisi) disebut wakil rakyat, atau anggota DPR/DPRD.

Mereka tak dikata politisi. Eksekutif disebut pemerintah. Bahkan di kampung-kampung, baik legislator maupun eksekutif semuanya disebut “pemerintah”.

Tetapi jangan lupa, mereka sebagian adalah politisi dalam arti kader/pengurus Parpol tree in one (PPP, PDI, dan Golkar). Dan ingat, mereka begitu intens mengisi ruang-ruang pemberitaan media massa saat itu.

Bila mereka diterbitkan atau disiarkan, rakyat begitu bahagia. Ujarannya, menetaskan optimisme seisi negeri akan kesejahteraan warga. Perkataannya begitu menghibur telinga masyarakat.

Entah itu kabar tentang rencana pembangunan, entah itu informasi mengenai pengerjaan pembanguan, entah itu tentang peresmian proyek-proyek mercusuar yang tersebar dimana-mana. Rakyat yang kebetulan menyimak semua itu bersyukur dan akur.

Rakyat begitu bahagia menyimak, presiden Soeharto hadir ditengah-tengah sawah seraya mengangkat segenggam padi yang telah ia potong. Itu sebagai penanda panen raya dimulai.

Kita ingat pula berita di TVRI tentang “kelompencapir” (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa).

Ini merupakan pertemuan petani dan nelayan di Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Kegiatan itu mirip cerdas cermat. Disitu, selain Soeharto sejumlah menteri, pejabat dan politisi juga seringkali hadir. Begitulah politisi, selalu hadir sebagai berita sejak dulu.

Sampai kini pun politisi selalu dalam berita. Era disrupsi media yang sejalan dengan politik pemilihan langsung, kehadiran politisi sebagai berita bahkan kian massif.

Disrupsi media memicu politisi meraih tempat sebagai objek berita, dan politik langsung merangsang media produktif mewarta.

Inovasi media massa yang massif semakin melajukan politisi sebagai sumber berita pokok saban hari. Tak ada berita tanpa politisi, dan tak ada politisi tanpa berita.

Tanpa diberitakan, politisi menderita, dan barangkali tanpa politisi media massa pun merana.

Hadir dimanapun, mereka menjadi berita media massa. Mereka menjadi sumber berita yang dominan.

Bahkan diluar urusan politik-pemerintahanpun mereka tetap menjadi sumber berita. Saat mereka jogging misalnya, kerap kali menjadi berita.

Saat mereka mampir di warung rakyat pinggir jalan mereka pun jadi berita, saat ke mal mereka menjadi berita, apalagi saat nongkrong di warkop beritanya mengalir deras.

Bahkan, saat sedang ibadahpun mereka terberitakan. Ringkasnya, segala tindak-laku politisi senantiasa memberita.

Apalagi jika musim politik menghampiri, siang-malam mereka terberitakan.

Media massa menjadi salah satu instrumen pokok untuk viral dizaman politik pemilihan langsung seperti saat sekarang ini.

Sebab viralitas diyakini memompa popularitas, dan popularitas sebagai jalan mencapai elektabilitas yang pantas.

Namun sayangnya, berita yang beredar dari politisi seringkali serimonial dan hiburan semata.

Nyaris kering gagasan politik yang relevan untuk memperkuat pendidikan politik warga. Maka wajar saja bila pemahaman demokrasi warga dangkal setiap waktu.

Mereka terbiasa dijanji, namun tak pandai menagih.

Begitulah politisi dalam berita. Mereka senantiasa terberitakan. Kadang berita menyenangkan, kadang berita membingungkan. Barangkali itulah yang membuat politik menjadi ramai setiap waktu.

Entah apa jadinya politik bila politisi tak terberitakan sepekan sahaja.

Mungkin politik menjadi kering dan sunyi, lantas kita pun tandus pengetahuan tentang sosok politisi yang dicokok KPK gegara korupsi.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved