Klakson
Usai Dipilih, Ia Jijik
Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.
Menghilangakan pohon asam itu akan menghabisi spiritualitas warga kampung.
Warga ikhlas menerima proyek wisata sungai itu asalkan pohon asam itu tak dihilangkan.
Namun sang Kades tak mempedulikan penolakan warga. Ia berpendapat tradisi ritual itu bertentangan dengan syari’at Islam.
Ia jijik dengan itu dan warga pun kecewa. Proyek wisata sungai tetap berlanjut hingga diresmikan oleh Bupati setempat.
Usai diresmikan, wisata sungai itu ramai dikunjungi warga luar kampung hingga orang-orang dari kota.
Namun keramaian itu tak bertahan lama sebab selalu saja ada 3 atau 5 pengunjung kesurupan disana.
Kisah kesurupan itu lalu merebak hingga wisata suangai itu sepi seketika.
Kekecewaan warga berlanjut. Sang kades mereformasi beberapa pegawai syara’ dan khatib kampung.
Alasannya, materi ceramah sang khatib tak sesuai wacana agama Islam yang berkembang dan kampungan.
Ia lalu menggantinya dengan da’i modern dari kota yang didatangkan setiap Jumat.
Da’i kota begitu berapi-api saat khutbah, hingga mengutuk tradisi-tradisi spiritual warga yang dianggapnya sebagai kemusyrikan.
Sang kades jijik dengan itu semua. Ia ingin kesucian. Tetapi ia lupa amplop mungil yang disisipkannya pada warga sebelum Pilkades adalah dosa keji yang tak Islami.
Dan ia lupa bahwa warga yang dianggapnya najis itu adalah pemilihnya saat memenangi kontestasi.