Klakson
Usai Dipilih, Ia Jijik
Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.
Oleh; Abdul Karim
Majelis Demokrasi dan Humaniora
Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.
Sebelum duduk di kursi kekuasaan, ia begitu lama bekerja disalah satu perusahaan modern.
Pemikirannya cukup modern pula, melampaui pemikiran rekan-rekannya saat masih kuliah dulu. Otaknya memang encer.
Ia tergolong profesional sukses. Ia sukses diusia muda. Para orang tua di kampung itu seringkali memotivasi anak-anaknya dengan kisah kesuksesannya.
Ia selalu menjadi teladan bagi warga kampung. Ia tak hanya jadi buah bibir warga, ia bahkan menjadi buah harapan, buah teladan bagi seluruh warga kampung subur itu.
Saat mendengar kabar bahwa di desanya akan ada pemilihan kepala desa, ia mulai mengubah fikirannya.
Satu persatu rekan-rekan dimasa kecilnya ia telepon. Keluarga besarnya dikampung pun intens ia komunikasi.
Dari sinilah kemudian ia mulai faham apa yang terjadi dikampungnya sejak ia merantau di negeri orang.
Lalu ia mulai lesu dalam bekerja. Dikepalanya selalu terngiang keluhan-keluhan rekan dan karib kerabatnya mengenai situasi kampung.
Mulai dari infrastruktur kampung yang seadanya, panen yang merugi, dan keterbelakangan kampung lainnya, hingga pengalaman Pilkades yang justeru mengebiri penghidupan layak warga kampung.
Siang-malam ia mengingat itu semua seditil-detilnya. Hingga suatu waktu, ia menelpon karib-kerabatnya dan menyampaikan keinginannya untuk pulang kampung menjadi calon kepala desa.
Karib-kerabat pada mulanya tak percaya. Mereka menganggap itu gurauan semata.
Tetapi setahun sebelum pilkades digelar, ia datang bersama anak istrinya. Ia memilihi pensiun dini dari perusahaan tempatnya bekerja selama ini.