Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Usai Dipilih, Ia Jijik

Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Usai Dipilih, Ia Jijik
abdul karim
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora

Oleh; Abdul Karim

Majelis Demokrasi dan Humaniora

Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.

Sebelum duduk di kursi kekuasaan, ia begitu lama bekerja disalah satu perusahaan modern.

Pemikirannya cukup modern pula, melampaui pemikiran rekan-rekannya saat masih kuliah dulu. Otaknya memang encer.

Ia tergolong profesional sukses. Ia sukses diusia muda. Para orang tua di kampung itu seringkali memotivasi anak-anaknya dengan kisah kesuksesannya.

Ia selalu menjadi teladan bagi warga kampung. Ia tak hanya jadi buah bibir warga, ia bahkan menjadi buah harapan, buah teladan bagi seluruh warga kampung subur itu.

Saat mendengar kabar bahwa di desanya akan ada pemilihan kepala desa, ia mulai mengubah fikirannya.

Satu persatu rekan-rekan dimasa kecilnya ia telepon. Keluarga besarnya dikampung pun intens ia komunikasi.

Dari sinilah kemudian ia mulai faham apa yang terjadi dikampungnya sejak ia merantau di negeri orang.

Lalu ia mulai lesu dalam bekerja. Dikepalanya selalu terngiang keluhan-keluhan rekan dan karib kerabatnya mengenai situasi kampung.

Mulai dari infrastruktur kampung yang seadanya, panen yang merugi, dan keterbelakangan kampung lainnya, hingga pengalaman Pilkades yang justeru mengebiri penghidupan layak warga kampung.

Siang-malam ia mengingat itu semua seditil-detilnya. Hingga suatu waktu, ia menelpon karib-kerabatnya dan menyampaikan keinginannya untuk pulang kampung menjadi calon kepala desa.

Karib-kerabat pada mulanya tak percaya. Mereka menganggap itu gurauan semata.

Tetapi setahun sebelum pilkades digelar, ia datang bersama anak istrinya. Ia memilihi pensiun dini dari perusahaan tempatnya bekerja selama ini.

Kedatangannya dikampung membuat peta politik desa mulai berubah.

Padahal sebelumnya, dua pihak (selain incumbent) yang disebut-sebut hendak menjadi kandidat mulai bergerak.

Hampir setiap malam, ia didatangi karib kerabatnya dan teman masa kecilnya di rumah orang tuanya.

Entah untuk sekedar ngopi, atau untuk sekedar menyimak kisah-kisah suksesnya di dunia profesionalisme.

Ia lalu membentuk tim pemenangan yang isinya terdiri dari keluarga dan rekan masa kecilnya.

Startegi pemenangan yang ia terapakan persis sistem marketing perusahaan tempatnya berlabuh sebagai orang sukses selama ini.

Sebagian isi pesangonnya ia gunakan untuk membiayai pemenangannya—termasuk amplop-amplop mungil untuk pemilihnya.

Hasilnya, ia menang telak. Dominan warga memilihnya.

Setahun dua tahun ia menjabat sebagai Kades, kampung itu terlihat hidup dengan potensinya.

Dana desa yang jumlahnya hampir dua milyar ia gunakan untuk membangun infrastruktur desa.

Jembatan yang rusak ia ganti, jalanan berkubang ia beton, pompanisasi pengairan untuk pertanian dibeberapa titik, kantor desa direnovasi dengan gaya minimalis, jalan menuju sawah ia perbaiki, hingga kesejahteraan pegawai kantor desa ia tingkatkan.

Warga pun bahagia sentosa. Tahun ketiga ia memprogramkan wisata kampung dengan membangun destinasi wisata penggir sungai.

Sebuah pohon asam tua dipinggir sungai ia tebang untuk proyek wisata itu.

Para tetua kampung sebenarnya tak rela pohon itu ditebang sebab pohon itu adalah bahagian identitas kampung itu.

Pohon itu punya relasi spiritual dengan warga kampung. Dibawah pohon asam seusia kampung itu sekali setahun warga menggelar ritual dan doa-doa keselamatan bagi seluruh penghuni kampung.

Menghilangakan pohon asam itu akan menghabisi spiritualitas warga kampung.

Warga ikhlas menerima proyek wisata sungai itu asalkan pohon asam itu tak dihilangkan.

Namun sang Kades tak mempedulikan penolakan warga. Ia berpendapat tradisi ritual itu bertentangan dengan syari’at Islam.

Ia jijik dengan itu dan warga pun kecewa. Proyek wisata sungai tetap berlanjut hingga diresmikan oleh Bupati setempat.

Usai diresmikan, wisata sungai itu ramai dikunjungi warga luar kampung hingga orang-orang dari kota.

Namun keramaian itu tak bertahan lama sebab selalu saja ada 3 atau 5 pengunjung kesurupan disana.

Kisah kesurupan itu lalu merebak hingga wisata suangai itu sepi seketika.

Kekecewaan warga berlanjut. Sang kades mereformasi beberapa pegawai syara’ dan khatib kampung.

Alasannya, materi ceramah sang khatib tak sesuai wacana agama Islam yang berkembang dan kampungan.

Ia lalu menggantinya dengan da’i modern dari kota yang didatangkan setiap Jumat.

Da’i kota begitu berapi-api saat khutbah, hingga mengutuk tradisi-tradisi spiritual warga yang dianggapnya sebagai kemusyrikan.

Sang kades jijik dengan itu semua. Ia ingin kesucian. Tetapi ia lupa amplop mungil yang disisipkannya pada warga sebelum Pilkades adalah dosa keji yang tak Islami.

Dan ia lupa bahwa warga yang dianggapnya najis itu adalah pemilihnya saat memenangi kontestasi.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved