Klakson
Usai Dipilih, Ia Jijik
Seorang penguasa begitu jijik pada tradisi kaum udik. Ia memang lulusan sekolah yang tinggi.
Kedatangannya dikampung membuat peta politik desa mulai berubah.
Padahal sebelumnya, dua pihak (selain incumbent) yang disebut-sebut hendak menjadi kandidat mulai bergerak.
Hampir setiap malam, ia didatangi karib kerabatnya dan teman masa kecilnya di rumah orang tuanya.
Entah untuk sekedar ngopi, atau untuk sekedar menyimak kisah-kisah suksesnya di dunia profesionalisme.
Ia lalu membentuk tim pemenangan yang isinya terdiri dari keluarga dan rekan masa kecilnya.
Startegi pemenangan yang ia terapakan persis sistem marketing perusahaan tempatnya berlabuh sebagai orang sukses selama ini.
Sebagian isi pesangonnya ia gunakan untuk membiayai pemenangannya—termasuk amplop-amplop mungil untuk pemilihnya.
Hasilnya, ia menang telak. Dominan warga memilihnya.
Setahun dua tahun ia menjabat sebagai Kades, kampung itu terlihat hidup dengan potensinya.
Dana desa yang jumlahnya hampir dua milyar ia gunakan untuk membangun infrastruktur desa.
Jembatan yang rusak ia ganti, jalanan berkubang ia beton, pompanisasi pengairan untuk pertanian dibeberapa titik, kantor desa direnovasi dengan gaya minimalis, jalan menuju sawah ia perbaiki, hingga kesejahteraan pegawai kantor desa ia tingkatkan.
Warga pun bahagia sentosa. Tahun ketiga ia memprogramkan wisata kampung dengan membangun destinasi wisata penggir sungai.
Sebuah pohon asam tua dipinggir sungai ia tebang untuk proyek wisata itu.
Para tetua kampung sebenarnya tak rela pohon itu ditebang sebab pohon itu adalah bahagian identitas kampung itu.
Pohon itu punya relasi spiritual dengan warga kampung. Dibawah pohon asam seusia kampung itu sekali setahun warga menggelar ritual dan doa-doa keselamatan bagi seluruh penghuni kampung.