OPINI
OPINI - Makassar dan ‘Badai’ Kepailitan
Penulis adalah Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan Cikini Syndicate Jakarta.
‘Rontok’ sendiri atau terpaksa rontok. Kondisi terparah adalah sengaja dirontokkan oleh oknum kreditur atau adanya konspirasi dari para pesaing.
Penyalahgunaan proses kepailitan oleh oknum tertentu, dimungkinkan terjadi. Permainan para kreditur dalam mengajukan permohonan pailit atau persekongkolan dalam tahapan-tahapan epailitan, menjadi celah empuk mematikan perusahaan.
Sanksi atas persekongkolan kreditur atau tidak independennya kurator, bukan lagi menjadi penghalang, sebab sulit untuk dibuktikan.
Mengatasi kemungkinan penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh oknum kreditur atau oknum pesaing perusahaan, maka ada dua langkah yang mesti diperhatikan selain menjaga kondisi keuangan perusahaan.
Pertama, membangun dan menjaga hubungan baik dengan para kreditur. Hubungan baik ini dimaksudkan agar para kreditur memiliki pandangan objektif dalam menggunakan kepailitan atau PKPU sebagai alat penyelesaian utang piutang.
Dengan adanya jalinan emosional, maka kebijaksanaan terhadap mereka akan lebih dipertimbangkan dibanding debitur yang memang benar-benar ‘nakal’.
Oleh karena itu, sistem ‘pukul rata’ dalam mengajukan permohonan pailit atau PKPU terhadap debitur dapat dihindari.
Baca: Kapolri, Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Ketua MK Bakal ke Unhas, Ada Apa?
Baca: Diagendakan Diperiksa Bawaslu, Akbar Faisal Justru ke Makassar Hadiri Acara di Hotel
Kedua, ada baiknya jika perusahaan meretainer ahli hukum di bidang kepailitan. Mengeluarkan sedikit uang untuk membayar ahli dalam menjaga perusahaan adalah pilihan bijak.
Pengetahuan dan strategi hukum seorang ahli dapat meminimalisir terjadinya serangan kepailitan atau PKPU dari permainan oknum kreditur atau pesaing perusahaan.
Mengingat trend penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dan PKPU, maka sudah saatnya pelaku bisnis di Makassar bersikap waspada. Menjalin hubungan baik dengan kreditur serta meretainer seorang ahli kepailitan adalah salah satu jalan terbaik.
Sayangnya, hampir semua perusahaan di Makassar masih berpedoman pada ‘pengobatan’ bukan pada pencegahan.
Semoga tulisan ini menjadi masukan atas kegelisahan perusahaan dalam menghadapi invasi ‘badai’ kepailitan yang kini sedang ‘cantik-cantiknya’ melanda Makassar.
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Jumat 01 Maret 2019