OPINI
OPINI - Makassar dan ‘Badai’ Kepailitan
Penulis adalah Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan Cikini Syndicate Jakarta.
Oleh: Ayatullah R. Hiba
(Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan Cikini Syndicate Jakarta)
Kepailitan laksana ‘badai’ yang menakutkan bagi setiap perusahaan. Ia datang tanpa pandang bulu. Tidak hanya menyerang perusahaan yang ‘sakit’, tapi juga terhadap perusahaan yang memiliki tingkat rasio aktifa jauh di atas pasiva.
Hal ini lumrah, sebab hukum kepailitan kita memberi syarat mudah dalam mengajukan permohonan pailit terhadap debitur.
Cukup dimohonkan oleh dua kreditur atau lebih, yang salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta dapat dibuktikan dengan sederhana.
Bagi masyarakat awam, konotasi pailit adalah bangkrut. Undang-undang sendiri mendefinisikannya sebagai sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Terkait tulisan ini, saya membatasinya pada korporasi sebagai pihak debitur dan potensi penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh oknum kreditur dalam ‘mematikan’ debitur.
Pembahasan ini penting, mengingat semakin maraknya permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Kota Makassar.
Baca: Jelang Nyepi, Ribuan Umat Hindu Luwu Utara Upacara Melasti
Berdasarkan data website resmi Pengadilan Negeri Makassar, terjadi peningkatan perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) antara tahun 2017 hingga 2018.
Tahun 2017, tercatat 2 perkara, lalu meningkat menjadi 21 perkara di tahun 2018. Trend ini mungkin akan terus naik di tahun 2019.
Sayangnya, peningkatan tersebut kurang dibarengi pengetahuan hukum kepailitan oleh perusahaan-perusahaan di Kota Makassar. Tak sedikit perusahaan yang masih ‘sehat’ atau mampu bangkit dari krisis keuangan, terpaksa ‘mati’.
Bukan karena mereka benar-benar tidak mampu membayar utang, akan tetapi kurangnya pengetahuan dan strategi hukum dalam proses tersebut.
Sejatinya, kepailitan dan PKPU adalah sarana bagi perusahaan yang mengalami penurunan keuangan untuk merestrukturisasi utangnya, menyatakan diri tidak sanggup lagi atau menjadi tempat membangun kesepakatan baru yang saling menguntungkan, baik penambahan modal dari kreditur atau take over pihak ketiga.
Pengalaman penulis selama mengikuti perkembangan perkara kepailitan dan PKPU di Makassar, masih terdapat perusahaan (baca:debitur) ataupun kuasanya yang belum memahami proses ini.
Tak jarang perusahaan bingung dalam melakukan langkah hukum setelah putusnya permohonan. Beberapa perusahaan juga kurang mengetahui hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam proses tersebut.
Baca: Nyambi Jual Sabu, Nelayan Cumi-cumi asal Mariso Ditembak Polisi
Baca: 5 Fakta Maell Lee, Selebgram yang Dijuluki Preman Terkuat di Bumi, ini Profesinya Sebelum Terkenal
Minimnya pengetahuan tentu merugikan. Pada kondisi tertentu, beberapa perusahaan mampu lepas dari jerat kepailitan dan PKPU. Akan tetapi tak sedikit pula yang harus menyerah.
‘Rontok’ sendiri atau terpaksa rontok. Kondisi terparah adalah sengaja dirontokkan oleh oknum kreditur atau adanya konspirasi dari para pesaing.
Penyalahgunaan proses kepailitan oleh oknum tertentu, dimungkinkan terjadi. Permainan para kreditur dalam mengajukan permohonan pailit atau persekongkolan dalam tahapan-tahapan epailitan, menjadi celah empuk mematikan perusahaan.
Sanksi atas persekongkolan kreditur atau tidak independennya kurator, bukan lagi menjadi penghalang, sebab sulit untuk dibuktikan.
Mengatasi kemungkinan penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh oknum kreditur atau oknum pesaing perusahaan, maka ada dua langkah yang mesti diperhatikan selain menjaga kondisi keuangan perusahaan.
Pertama, membangun dan menjaga hubungan baik dengan para kreditur. Hubungan baik ini dimaksudkan agar para kreditur memiliki pandangan objektif dalam menggunakan kepailitan atau PKPU sebagai alat penyelesaian utang piutang.
Dengan adanya jalinan emosional, maka kebijaksanaan terhadap mereka akan lebih dipertimbangkan dibanding debitur yang memang benar-benar ‘nakal’.
Oleh karena itu, sistem ‘pukul rata’ dalam mengajukan permohonan pailit atau PKPU terhadap debitur dapat dihindari.
Baca: Kapolri, Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Ketua MK Bakal ke Unhas, Ada Apa?
Baca: Diagendakan Diperiksa Bawaslu, Akbar Faisal Justru ke Makassar Hadiri Acara di Hotel
Kedua, ada baiknya jika perusahaan meretainer ahli hukum di bidang kepailitan. Mengeluarkan sedikit uang untuk membayar ahli dalam menjaga perusahaan adalah pilihan bijak.
Pengetahuan dan strategi hukum seorang ahli dapat meminimalisir terjadinya serangan kepailitan atau PKPU dari permainan oknum kreditur atau pesaing perusahaan.
Mengingat trend penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dan PKPU, maka sudah saatnya pelaku bisnis di Makassar bersikap waspada. Menjalin hubungan baik dengan kreditur serta meretainer seorang ahli kepailitan adalah salah satu jalan terbaik.
Sayangnya, hampir semua perusahaan di Makassar masih berpedoman pada ‘pengobatan’ bukan pada pencegahan.
Semoga tulisan ini menjadi masukan atas kegelisahan perusahaan dalam menghadapi invasi ‘badai’ kepailitan yang kini sedang ‘cantik-cantiknya’ melanda Makassar.
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Jumat 01 Maret 2019