Opini Tribun Timur
Suara yang Mengikat Diri Menjadi Teks
Jarak inilah yang memungkinkan munculnya refleksi, logika, dan abstraksi kemampuan yang sulit tumbuh dalam budaya lisan murni.
Setiap lirik, refren, dan kisah yang dituturkan kembali adalah upaya mempertahankan kehidupan budaya. Dalam masyarakat lisan, manusia tidak hanya mengenang; ia menyuarakan kembali dunia yang diwariskan.
Tetapi perubahan terbesar terjadi ketika manusia menemukan tulisan. Tulisan memisahkan suara dari makna, penutur dari pesan, dan konteks dari ujaran.
Kata tidak lagi bergantung pada kehadiran manusia yang melafalkannya. Ia dapat hidup dalam keheningan kertas, menyeberangi ruang dan waktu, dibaca oleh generasi yang belum lahir.
Di sinilah Ong melihat lahirnya bentuk kesadaran baru yang di mana kesadaran literer yang lebih individualistis. Tulisan menjadikan manusia lebih mandiri dalam berpikir, tetapi juga lebih terpisah secara emosional.
Kehangatan tradisi lisan perlahan digantikan oleh kesunyian halaman. Jika budaya lisan menubuhkan interaksi, maka budaya tulisan menubuhkan refleksi.
Dan meskipun refleksi ini menjadi fondasi ilmu pengetahuan, ia juga melahirkan keterasingan. Kita memasuki dunia yang lebih sistematis, tetapi juga lebih sepi.
Ong tidak menilai bahwa pergeseran ini salah, justru ia ingin kita menyadari bahwa setiap medium membawa konsekuensi pada kondisi pikiran dan kehidupan sosial.
Namun, salah satu gagasan Ong yang paling visioner adalah konsep “kelisanan sekunder” (secondary orality).
Ia menunjuk pada situasi ketika teknologi modern menghadirkan kembali pola-pola kelisanan, tetapi dalam bentuk yang telah dimediasi oleh tulisan dan teknologi.
Menariknya, Ong menulis sebelum era internet dan media sosial. Namun analisisnya terasa sangat tepat menggambarkan dunia digital saat ini.
Dalam dunia media sosial dari Twitter, Instagram, TikTok, hingga podcast kita sedang menyaksikan kebangkitan kelisanan dalam ruang elektronik.
Bahasa yang kita gunakan cenderung spontan, informal, penuh singkatan, emoji, dan pola tutur yang meniru gaya bicara.
Kita menulis seperti berbicara, merekam suara seperti bercakap, dan berbagi video seperti sedang berdongeng di hadapan publik. Ini adalah bentuk baru kelisanan, tetapi tetap bergantung pada teknologi yang bersumber dari tradisi literasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia sebenarnya tidak pernah meninggalkan kelisanan. kita hidup dalam tarik-menarik antara dua dunia suara dan teks yang saling mengikat.
Di ruang pesan singkat, komentar media sosial, dan unggahan video, kita dapat merasakan bagaimana kelisanan dan keaksaraan tidak lagi bertentangan, melainkan berpadu membentuk pola komunikasi hybrid yang mencerminkan identitas manusia modern.
| Meningkatkan Mutu, Bertransformasi, dan Berkolaborasi untuk Pendidikan Tinggi yang Berdampak |
|
|---|
| PMO dan Arah Baru Kebangkitan Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih |
|
|---|
| Surat untuk Presiden Prabowo: Bapak akan Tersenyum di Hadapan Tuhan Bersama Semua Pahlawan itu |
|
|---|
| Opini Kemandirian Pangan: Menakar peran Strategis Peternakan |
|
|---|
| Ketidakadilan Pemantik Kericuhan Sosial |
|
|---|
