Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Suara yang Mengikat Diri Menjadi Teks

Jarak inilah yang memungkinkan munculnya refleksi, logika, dan abstraksi kemampuan yang sulit tumbuh dalam budaya lisan murni.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Rahmat Hidayat Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar  

Kita berbicara lewat teks, dan menulis dengan gaya tutur. Suara yang dulu hidup dalam ruang fisik kini menemukan kehidupan barunya dalam layar digital.

Relevansi buku Ong bagi masyarakat Indonesia juga sangat jelas. Tradisi lisan Nusantara terus hidup dalam dongeng, pantun, pidato adat, dan upacara-upacara budaya.

Namun pada saat yang sama, masyarakat kita aktif dalam budaya digital yang sangat cepat, ringkas, dan sering kali dangkal.

Kita berada di antara dua kutub kedalaman tutur tradisional dan kecepatan teks digital. Dan keduanya memengaruhi cara kita berpikir dan berperasaan.

Ong membantu kita memahami bahwa medium bukan sekadar saluran, melainkan lingkungan berpikir.

Kita perlu menyadari dampak dari perubahan ini agar tidak hanyut dalam arus digital tanpa membawa kedalaman refleksi yang diwariskan oleh tradisi lisan, atau ketajaman berpikir yang diberikan oleh tulisan.

Di tengah dunia yang semakin digital, kita seolah kembali pada kelisanan tetapi dalam bentuk yang dipercepat, dipotong-potong, dan mudah dilupakan.

Tulisan berubah menjadi unggahan yang cepat berlalu, suara menjadi notifikasi yang segera tertelan oleh pesan berikutnya.

Di sinilah relevansi peringatan Ong menjadi penting bagi manusia harus menjaga keseimbangan antara kehangatan lisan dan kejernihan tulisan. Tanpa keduanya, kita kehilangan akar sekaligus arah.

Pada akhirnya, Kelisanan dan Keaksaraan bukan hanya buku tentang bahasa, melainkan buku tentang manusia.

Ong mengingatkan bahwa setiap bunyi yang kita ucapkan dan setiap huruf yang kita tulis adalah jejak kesadaran. Bahasa adalah tempat kita menjadi diri kita sendiri entah dalam bentuk suara yang mengikat atau teks yang merekam.

Dan di era digital ini, ketika cerita lebih sering diunggah daripada dituturkan, kita perlu kembali bertanya apakah kita masih mendengar gema suara yang pernah hidup sebelum teks lahir?

 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved