Opini
Politik Nama di Negeri Jurnal
Sementara data Science and Technology Index (SINTA), Indonesia mencatat lebih dari 1,2 juta artikel ilmiah hingga pertengahan 2024.
Kinerja dosen diukur dari jumlah artikel di jurnal bereputasi, bukan dari dampaknya terhadap masyarakat.
Dalam tekanan administratif itu, kolaborasi sering menjadi ritual, bukan substansi. Kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 60 persen peneliti menulis terutama untuk memenuhi target institusi.
Sementara Committee on Publication Ethics (COPE) menggolongkan honorary authorship sebagai bentuk pelanggaran etik yang terus meningkat secara global. Tetapi di era digital, bentuk pelanggaran ini berevolusi.
Kini, nama dapat dimasukkan hanya dengan satu klik, dan reputasi akademik bisa dibangun melalui jejak algoritmik di Google Scholar atau Scopus. Integritas akademik bergeser dari moral action menjadi data trace, yakni dari akal sehat menjadi angka.
Inilah dimensi baru yang jarang dibicarakan yaitu politik nama bukan hanya krisis moral akademisi, tetapi juga bentuk kolonialisme pengetahuan digital.
Platform jurnal internasional yang menjadi tolok ukur reputasi ilmiah kini didominasi oleh penerbit dan algoritma global.
Negara-negara seperti Indonesia, yang ingin diakui secara akademik, tanpa sadar tunduk pada logika kapital pengetahuan global di mana nilai ilmiah diukur bukan dari gagasan, melainkan dari posisi jurnal dalam indeks kuartil.
Akibatnya, dosen dan peneliti lokal berkompetisi bukan dalam inovasi, tetapi dalam mengejar legitimasi digital.
Nama menjadi identitas global yang diperjualbelikan dalam sistem pengetahuan yang terkolonialisasi.
Inilah wajah baru kolonialisme abad ke-21 bahwa bukan penjajahan teritorial, melainkan penjajahan epistemik melalui data dan algoritma.
Dalam konteks global, fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut Nick Couldry dan Ulises A. Mejias sebagai Data Colonialism, yakni bentuk penjajahan baru di mana data manusia, termasuk data akademik, diekstraksi dan dimonetisasi oleh kekuatan global.
Upaya pemerintah menata tata kelola riset juga terlihat lewat Peraturan BRIN No. 2 Tahun 2025 yang mengatur kedaulatan data penelitian nasional.
Tetapi, di sisi lain, sistem publikasi global masih dikendalikan oleh penerbit dan algoritma internasional yang menilai reputasi berdasarkan indeksasi digital.
Dalam situasi ini, peneliti Indonesia tetap terjebak dalam paradoks: data riset dikelola secara nasional, tetapi pengakuan ilmiah tetap ditentukan oleh pusat kekuasaan pengetahuan global.
Mekanisme yang sama kini merasuki dunia ilmiah bahwa jejak publikasi, sitasi, dan indeksasi menjadi komoditas yang memperkuat hierarki antara pusat dan pinggiran pengetahuan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-18-Muhammad-Suryadi-R-Peneliti-Parametric-Development-Center.jpg)