Opini
Mamdani dan Budaya Politik di Indonesia
Kemenangan ini membetot perhatian publik, baik di Amerika maupun masyarakat global, sampai ke pelosok Indonesia.
Oleh: Zulfiqar Rapang
Anak Muda Ketinggian Rongkong, Alumni Program Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Wakil Ketua KNPI Luwu Utara
TRIBUN-TIMUR.COM - “Bodoh!”, kata Trump. “Dia jelas-jelas mengaku pembenci Yahudi, tapi tetap juga kalian pilih”.
Trump gusar, dan terlontarlah kalimat ini dan ia tujukan kepada warga Yahudi di New York, yang rupanya secara persentase, lebih banyak memilih kandidat muslim itu.
Riuh rendah terpilihnya Zohran Mamdani; wali kota Muslim pertama pusat bisnis dunia, belum mereda, bahkan setelah berlalu sepekan pasca ia dianyatakan menang.
Kemenangan ini membetot perhatian publik, baik di Amerika maupun masyarakat global, sampai ke pelosok Indonesia.
Dalam politik Amerika Serikat, bagi para sarjanawan ilmu politik dan pegiat demokrasi, terpilihnya Mamdani juga menjadi semacam harapan dalam “menyelamatkan” demokrasi di tengah kepemimpinan Trump, sosok yang bersama Nixon digelari Letizsky & Ziblat dalam buku “How Democracies Die”, sebagai presiden paling anti-demokrasi.
Sebagai seorang muslim dan keturunan imigran, Mamdani dipilih mayoritas wallrga New York bukan kare na identitas personalnya, tetapi karena ia bersuara pada isuisu yang dianggap menyentuh kebutuhan dasar mereka yang di kelas bawah; transportasi, sewa rumah, inklusivitas warga, yang acapkali terpinggirkan kepentingannya di tengah kemewahan para elit New York.
Soal apakah janji kampanye Mamdani dapat terwujudkan atau tidak, kita tunggu saja, waktu yang akan memberi persaksian.
Partisipan
Gabriel Almond dan Sidney Verba menyodorkan tiga corak politic-culture atau budaya politik, yang bisa dibilang teori usang namun masih relatif cukup bagi kita untuk membaca kecenderungan pemilih. Ketiganya diberi istilah parokial; kawula; dan partisipan;
Budaya politik parokial biasanya hidup dan dianut dalam masyarakat tradisional, dimana mereka minim pengetahuan soal makna politik, sehingga berkonsekwensi pada kurangnya perhartian pada isu politik dan relatif mudah terombangambing oleh para pragmatis.
Dalam tipologi ini pula, pilihan politik seringkali didasarkan preferensi entisitas, agama pun nuansa lokalitas.
Di sisi lain, budaya politik kawula eksis di negara yang cenderung otoriter, yakni warga diobjektifikasi penguasa sehingga cenderung patuh, lalu pada ujungnya, mungkin enggan dan abai lalu acuh tak acuh berpartisipasi pada isu-isu publik.
Di antara ketiganya, kehidupan politik yang menganut budaya partisipan dianggap sebagai habbit politik yang paling ideal, dimana masyarakat memahami serta pro aktif dalam politik.
Sehingga mereka dan pemerintah saling memperngaruhi satu sama lain, termasuk dalam memilih, melahirkan dan mengkritisi pemimpin terpilih.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-17-Zulfiqar-Rapang-Anak-Muda-Ketinggian-Rongkong.jpg)