KOLOM ANDI SURUJI
Tanah Genting di Makassar
WAKIL Presiden ke-10 dan ke-12 HM Jusuf Kalla turun langsung ke lokasi tanah milik perusahaannya, PT Hadji Kalla.
Oleh: Andi Suruji
(Pemimpin Umum Tribun Timur)
TRIBUN-TIMUR.COM- Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 HM Jusuf Kalla turun langsung ke lokasi tanah milik perusahaannya, PT Hadji Kalla, yang juga diklaim oleh pihak PT Gowa Makassar Tourism Developement.
Tanah itu berlokasi di kawasan pengembangan Kota Makassar, Jln Metro Tanjung Bunga. Persis di seberang lokasi Trans Studio Mall Makassar. Lokasinya strategis.
Bukan sekadar meninjau. JK singkatan namanya, bahkan meluapkan kemarahannya di sana. Pasalnya, tanah yang diklaim miliknya, dibeli 35 tahun silam dari pemilik lama keturunan Raja Gowa, malah dieksekusi oleh aparat hukum lantaran diklaim juga milik PT GMTD, afiliasi konglomerasi Grup Lippo.
Tanah-tanah di Kota Makassar asal muasalnya tentulah dari Kerajaan Gowa. Kota Makassar yang dulu bernama Juppandang atau Ujung Pandang masuk dalam wilayah Kerajaan Gowa.
JK jelas geram karena pihaknya memiliki sertifikat atas tanah seluat 16 hektar lebih itu. JK menegaskan pula PT Hadji Kalla tidak bersengketa dengan PT GMTD, tetapi GMTD bersengketa dengan pihak lain. Sengketa dimenangkan GMTD kemudian dilakukan eksekusi di lahan milik Kalla.
Timbul dugaan, persengketaan antara GMTD dengan pihak lain itu karena rekayasa belaka yang dijalankan mesin sindikat mafia tanah. Mulai dari aparat birokrasi pemerintahan paling bawah, aparat pertanahan, aparat hukum, sampai pemodal besar yang lapar tanah.
Itulah sebabnya ia menegaskan, akan menempuh jalur hukum sampai tingkat tertinggi. "Mempertahankan harta itu adalah syahid. Ini Makassar. Tanah yang dimiliki selama 30 tahun, tiba-tiba ada yang datang mau merampok," katanya.
Baca juga: Nusron Wahid: Jusuf Kalla Pemilik Sah Lahan Sengketa di Makassar
Pernyataan ini amat keras. Menggarisbawahi dua hal sensitif, nilai religiusitas dan kultural Bugis-Makassar yang selama ini amat kental melekat pada diri JK dan keluarganya. Ditambah lagi persoalan hukum dan ketidakadilan.
Padahal JK yang dikenal sebagai tokoh sentral dalam berbagai penyelesaian konflik di berbagai daerah di tanah air, bahkan di luar negeri, selalu menegaskan bahwa umumnya konflik terjadi karena ketidakadilan hukum, ekonomi, dan berbagai ketidakadilan lainnya.
Apa yang diamalami dirinya saat ini, yaitu konflik keagrariaan, jelas dipicu ketidakadilan hukum. Ketidakadilan hukum terjadi karena adanya mafia tanah bergentayangan merekayasa terjadinya konflik yang diselesaikan dengan hukum yang tergadai.
Mengeksekusi lahan milik JK dalam kasus ini telah menyentuh ranah harkat dan martabat, siri' na pacce. Karena itu akan menimbulkan kesan JK telah merampas atau menguasai milik orang lain. Hal itu tentu akan membuat JK dan keluarganya merasa seperti tertampar. Padahal dialah yang terdzalimi oleh hukum.
Jangankan mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi. Hartanyanya saja banyak diberikan kepada berbagai kalangan demi kepentingan orang banyak.
Bahkan untuk kepentingan pribadi orang lain pun ia rela berikan hartanya, jika diminta dengan cara baik-baik. Orang banyak tahu itu.
Kasus ini lantas mencuat bagai gunung es. Baru puncaknya yang tampak. Banyak kasus lain belum terkuak. Kali ini, yang kena adalah JK sehingga seketika menjadi bola panas dan isu nasional.
JK turun langsung dan berbicara keras bukan sekadar menggugat kepentingan pribadinya semata. Ia menggugat sistem, mewakili kasus lain soal hak dan kepemilikan tanah. Masalah ketidakadilan yang dialami rakyat.
Terutama kasus yang dihadapi dan dialami orang kecil dan lemah yang tak punya daya perlawanan. Gara-gara direcoki sindikat mafia tanah di Makassar, dan daerah lainnya, yang sudah menggurita dari dari tingkat paling bawah sampai paling atas.
Persoalan keagrariaan, kepemilikan tanah, peradilan kasus-kasus agraria di Kota Makassar tampaknya sudah berada pada titik nadir. Jika tokoh sekelas JK saja bisa mengalami kasus seperti ini, orang kecil dan lemah apalah dayanya. Hanya bisa mengurut dada menangisi ketidakadilan yang dialaminya.
Itu semua akibat karut-marutnya hukum dan tata kelola administerasi pertanahan, yang kemudian dimanfaatkan sindikat jaringan mafia tanah. Tidak tertutup kemungkinan menjadi bom waktu pemicu konflik besar-besaran yang berkepanjangan.
Jangan sampai rakyat memilih jalan dan caranya sendiri menyelesaikan masalahnya, mempertahankan hak hidupnya, karena hilangnya kepercayaan mereka pada sistem hukum kepemilikan yang porak-peranda dan tergadai oleh para mafia.*

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.