Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Coretan Sumpah Pemuda Yamin

Rangkaian kata mewujud kalimat itu, bukanlah jampi-jampi, juga bukan mantra.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Armin Mustamin Toputiri Founder dan Ceo Toaccae Institute. Armin salah satu penulis opini Tribun Timur. 
Ringkasan Berita:
  • Rangkaian tiga ikrar dalam Sumpah Pemuda—satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa—menjadi simbol persatuan yang abadi. 
  • Sosok Mohammad Yamin memiliki kontribusi besar dalam sejarah Indonesia. 
  • Karya dan gagasan Yamin lahir bukan untuk mencari keabadian, tetapi ketulusannya justru menjadikannya abadi. 

Oleh: Armin Mustamin Toputiri

Founder dan Ceo Toaccae Institute

TRIBUN-TIMUR.COM - Pertama; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia

Kedoea; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Ketiga; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Rangkaian kata mewujud kalimat itu, bukanlah jampi-jampi, juga bukan mantra.

Bukanlah bait sajak, maupun lagu. Tapi entah, rangkaian kata itu terlanjur memiliki “tuah”-nya sendiri. 

Telah 97 tahun --- sejak diikrarkan pertama kali dalam Kongres (kekerapan) Pemuda II di Gedung Oost-Java Bioscoop, Stovia-Batavia, 28 Oktober 1928 --- usia rangkai kata itu, masih tetap saja mengiang.

Melekat, mengiringi perjalanan sebuah negara berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Betapa “beruntung” orang yang merumus susunan kata-kata itu. Andai NKRI kelak berusia satu juta tahun misalnya, maka rangakai kata itu pula usianya lebih dari pada satu juta itu.

Padahal, dapatlah diduga, bahwa ketika orang yang merumus kata itu, mulanya tidak sedikitpun pernah menduga jika kata yang ia rumuskan kelak akan mengiringi perjalanan suatu negara berdaulat.

Susunan kata dirumuskannya, tak lain semata karena itulah rumusan kebutuhan mendesak bagai orang-orang bumi putera dikala 1928 itu, sebelum NKRI ada. NKRI – negeri yang berdaulat --selain sebatas angan, menjadi harapan dan tekad.

Lebih mengagungkannya lagi, lembaran sejarah mengungkap jika rangkaian kata --- yang belakangan kita kenal “Sumpah Pemuda” --- itu, rumusannya hanya bermula berupa coretan tangan di atas sehelai sobekan kertas bekas. 

Pimpinan sidang Kongres Pemuda II, Soegondo Djojopoespito, membacanya sebagai putusan kongres. Para perwakilan pemuda yang hadir dalam kongres itu, bersama mengikrarkan coretan itu diiringi alunan “Indonesia Raya” -- tanpa teks -- lewat biola Wage Rudolf Soepratman, meski saat bersamaan bayonet kolonial mengarah ke kerumunan mereka.

Nun jauh dari Batavia, di pelosok kampung Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, tempat lahir putra juragan kopi (23 Agustus 1903) sekaligus tempat dimakam (17 Oktober 1962).

Di liang lahat itu, mungkin tak lagi ada tulang berserak, memberi persaksian jika Sumpah Pemuda dulu dirumus ketua Jong Sumatranen Bond itu, ternyata abadi sepanjang republik ini ada. 

Rangkaian kata dulu dirumusnya, bukan jampi-jampi dan bukan mantra, untuk dibaca di atas pusara suami R.A. Sundari Mertoatmaodjo, juga kakak kandung tokoh perfilman nasional Djamaluddin Adinegoro itu. Tapi rangkai kalimat itu, legacy penerang alam kuburnya.

Mohammad Yamin, itulah nama tertulis pada nizan makam itu. Namanya jauh terlampaui dari popularitas apa pernah dirumuskannya. Kita fasih mengeja Sumpah Pemuda.

Seisi bangsa tahu, tanpa kita tahu siapa sesungguhnya sosok manusia yang mula pertama merumuskan teksnya di atas lembar kertas bekas. 

Tanpa kita tahu, jika sosok sastrawan ini jugalah yang mula (dalam sidang BPUPKI. 29 Mei 1945) menawar rumusan Pancasila – tiga hari sebelum Soekarno menyampaikan pidato 1 Juni 1945 -- kelak menjadi idiologi (permanen) NKRI; “peri kebangsaan, peri ke-Tuhanan, peri kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan”.

Juga tanpa kita tahu, jika dirinya jugalah sosok pemrasaran dalam Kongres Pancawarsa (I) Jong Sumatranen Bond (1923) berjudul “De maleische taal in het verleden, heden en toekomst”, yang meramal dan mengajukan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. 

Dan mungkin tanpa kita tahu jika inilah jugalah sosok --- anggota BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) --- yang banyak andil dalam perumusan naskah UUD 1945, khususnya pasal berkaitan soal HAM. 

Bahkan uniknya, tanpa kita tahu jika visualisasi wajah Gadjah Mada, bersumber dari wajahnya.

Mohammad Yamin, anak bangsa dengan totalitas gagasan yang cerdas dan sistemik.

Lewat goresan tangannya ia mengawal sejak NKRI belum ada, hingga benar-benar nyata.

Bahkan saat usianya masih belia, 20 tahun, ia mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. 

Lima tahun berikutnya, di usia 25 tahun, gagasannya lanjut dirumuskan dalam Sumpah Pemuda.

Tak hanya sebatas itu, kala usianya beranjak 42 tahun, ia coba menawar rumusan Pancasila, dan hingga titik kulminasinya dalam keterlibatannya di BPUPKI dalam merumuskan UUD 1945.

Maha karya abadi, sungguh luar biasa lahir dari anak muda Minangkabau bernama Mohammad Yamin.

Kalaupun popularitas namanya terlampaui dari karyanya, usahlah disesali.

Keabadian memang bukan datang dari niat untuk keabadian. Keabadaian datang justru dari ketidakabadian. 

Rumusan Sumpah Pemuda dituliskan misalnya, bukanlah sumpah “serapah” pemuda, yang didasari emosi pada kaum penjajah yang menindas.

Bukan dengan kepalan tangan --- seperti belakangan divisualisasikan tentang identitas pemuda --- tapi ia datang dengan coretan tangan. 

Bukan demonstrasi, tapi diplomasi. Tidak untuk jangka pendek, tapi untuk jangka panjang, seperti dipesankan dalam bait (salah satu) sajaknya.

Adapun kami anak sekarang/ Mari berjerih berbanting tulang/ Menjaga kemegahan janganlah hilang/ Supaya lepas ke padang yang bebas/ Sebagai poyangku masa dahulu/ Karena bangsaku dalam hatiku / Turunan Indonesia darah Melayu

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved