Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Integritas dan Bahaya Kampanye Hitam dalam Kontestasi Akademik

Dalam setiap episode kontestasi kepemimpinan, baik di ranah politik praktis maupun dunia akademik, esensi

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship of Russia, Achmad Firdaus H. Dia menulis opini tentang kampanye hitam dalam pemilihan rektor. 

Achmad Firdaus H

Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship of Russia

DALAM setiap episode kontestasi kepemimpinan, baik di ranah politik praktis maupun dunia akademik, esensi pertarungan yang sehat seharusnya terletak pada adu gagasan, rekam jejak, dan visi masa depan yang konstruktif.

Proses pemilihan rektor di sebuah institusi adiluhung seperti universitas adalah panggung di mana nalar tertinggi seharusnya bersemayam, mencari sosok nahkoda yang tidak hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga luhur dalam bertindak. 

Namun, dalam setiap episode perebutan tampuk kepemimpinan, bayangan gelap yang disebut kampanye hitam (black campaign) acapkali hadir, mengancam untuk merusak fondasi integritas dan martabat institusi. 

Secara profesional, kampanye hitam dapat didefinisikan sebagai upaya sistematis dan destruktif yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan atau menjatuhkan lawan politiknya dengan menyebarkan informasi palsu, fitnah, rumor, atau distorsi fakta yang bertujuan menciptakan citra negatif.

Berbeda dengan negative campaign yang masih berbasis data, kampanye hitam sama sekali tidak mengenal kebenaran faktual.

Intinya adalah manipulasi emosi, menebar ketidakpercayaan, dan mengaburkan substansi debat publik.

Dalam konteks akademik, praktik ini muncul sebagai narasi palsu mengenai kinerja, menuding kegagalan tanpa dasar data, atau bahkan menyerang integritas pribadi seorang tokoh secara membabi buta.

Lantas, mengapa praktik yang begitu merusak ini tetap subur dalam kontestasi yang seharusnya beradab?

Motif utama di balik kampanye hitam seringkali berakar pada kombinasi emosi dan perhitungan strategis yang irasional.

Fenomena ini pertama-tama muncul dari kepanikan akibat minimnya visi. 

Ketika seorang kandidat atau kelompok pendukungnya menyadari bahwa gagasan, program kerja, atau rekam jejak mereka tidak mampu menandingi keunggulan dan capaian nyata lawan, satu-satunya jalan pintas yang mereka pilih adalah menghancurkan kredibilitas lawan.

Kampanye hitam menjadi senjata bagi mereka yang miskin gagasan konstruktif, sebab mereka menyimpulkan bahwa lebih mudah membuat publik ragu pada lawan daripada membuat publik percaya pada diri sendiri.

Selanjutnya, motif ini diperkuat oleh dorongan ambisius yang melampaui nalar.

Ambisi kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali membutakan mata hati, membuat aktornya merasa bahwa menghalalkan segala cara adalah prasyarat kemenangan.

Mereka mengabaikan etika, moralitas, dan bahkan tidak percaya takdir dari sebuah proses yang lurus; bagi mereka, kegagalan dalam proses yang jujur dianggap sebagai aib yang harus dihindari dengan cara apa pun, bahkan jika itu harus merusak iklim akademik secara permanen.

Pada akhirnya, motif ini terwujud karena gagal memahami aturan main modern.

Baca juga: Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030

Dalam tata kelola PTN-BH, kinerja diukur melalui metrik global: publikasi, WCU ranking, kemandirian finansial, dan akuntabilitas digital.

Pihak yang tidak mengerti atau tidak mampu mencapai metrik ini seringkali mencoba memaksa kehendak dengan menggiring isu keluar dari ranah data ke ranah emosi dan politik instan.

Dampak dari kampanye hitam jauh lebih berbahaya daripada sekadar menggagalkan seorang kandidat, sebab praktik ini menggerogoti jiwa sebuah institusi secara sistematis.

Bahaya yang paling fatal adalah erosi kepercayaan kolektif, di mana kampanye hitam menanamkan benih skeptisisme mendalam di kalangan civitas akademika dan stakeholder eksternal.

Ketika fakta dan fiksi sengaja dicampuradukkan, kepercayaan terhadap hasil evaluasi, kinerja, dan bahkan proses pemilihan itu sendiri akan luntur.

Keraguan ini merusak kohesi internal yang sangat dibutuhkan untuk mencapai visi besar World Class University.

Selain itu, kampanye hitam menyebabkan destabilisasi dan distraksi energi.

Energi kolektif yang seharusnya diarahkan pada inovasi, riset, dan pengabdian masyarakat akhirnya terkuras untuk merespons dan membersihkan fitnah yang disebarkan. Institusi kehilangan fokus, dan momentum transformasi yang vital terancam terhenti.

Paling mendasar, hal ini berujung pada penurunan martabat akademik.

Ketika panggung pemilihan Rektor didominasi oleh intrik, fitnah, dan narasi kebencian, martabat universitas sebagai menara ilmu pengetahuan merosot tajam.

Universitas, yang seharusnya menjadi teladan integritas, justru menjadi contoh buruk praktik politik kotor yang tidak beradab.

Contoh nyata kampanye hitam dalam konteks akademik seringkali muncul dalam bentuk distorsi data kinerja misalnya, sengaja menyebarkan data yang kadaluwarsa atau memanipulasi angka publikasi untuk menuding kegagalan atau berupa karakter asasinasi (character assassination) menyerang aspek pribadi atau keluarga seorang tokoh untuk mengalihkan perhatian dari capaian profesionalnya.

Baca juga: Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional

Bentuk yang paling halus namun mematikan adalah menciptakan Narasi Irasional mengganti pembahasan tentang manifesto maritim atau dana abadi dengan tudingan bahwa universitas "miskin gagasan" tanpa memberikan bukti tandingan yang substansial dan terukur.

Untuk menghadapi bahaya ini, respons yang paling syahdu adalah integritas sunyi dan data yang lantang.

Civitas akademika harus menolak menjadi corong penyebar kebencian.

Kita wajib mengembalikan fokus pada substansi, akuntabilitas, dan track record. Institusi harus memastikan bahwa setiap kontestasi adalah ajang perayaan nalar, di mana kandidat dipaksa untuk beradu fakta dan bukti, bukan ilusi.

Kampanye hitam adalah cerminan dari kegagalan melihat gambaran besar; ia adalah suara keputusasaan yang tidak perlu didengar.

Unhas, sebagai lembaga yang mengemban panji peradaban maritim, harus memilih untuk berjalan dalam cahaya nalar, menolak godaan politik gelap, dan memastikan bahwa nahkoda yang terpilih adalah cerminan dari kejujuran data dan kemuliaan visi yang otentik.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved