Opini
ChatGPT dan Budaya Hierarkis di Kampus
Bukan karena saya sepenuhnya setuju dengan gagasan hilirisasi digital berbasis AI.
Penulis: Muh Rizaldi Dosen LB Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Majene
TADINYA saya tidak pernah tertarik merespons problematika penggunaan ChatGPT.
Bukan karena saya sepenuhnya setuju dengan gagasan hilirisasi digital berbasis AI.
Alasan saya lebih karena sudah banyak yang menuliskannya.
Namun, keteguhan iman saya seketika goyah setelah mendengar curhatan salah seorang kawan yang baru-baru ini mengalami
semacam ‘academic culture shock’ ketika konsultasi tugas kuliah ke dosennya hingga merasa down.
Sebelumnya, saya perlu disclaimer bahwa tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang personal orang yang sudah membuat kawan saya merasa down.
Tapi, hendak menyoal penyebab masalahnya tanpa harus menyinggung pribadi apalagi institusinya.
Saya akui awalnya memang merasa kesal, tapi kekesalan itu tidak lantas membuat saya harus membabi buta hingga dapat mencederai kehormatannya.
Dengan narasi tersebut, saya yakin pembaca pasti jadi penasaran atas apa yang dialami oleh kawan saya.
Singkatnya begini. Sebagai sahabat, saya tahu pasti kapasitas dan kegigihannya dalam menyelesaikan setiap tugas kuliahnya.
Tidak jarang kami begadang bersama untuk mengerjakan sesuatu dan kerap berbagi tulisan untuk dibaca.
Saya selalu kagum dengan gaya penulisan dan idealismenya tentang penggunaan ChatGPT.
Arogansi Keilmuan
Hari itu sangat mengejutkan, alih-alih mendapatkan apresiasi, hasil tulisan yang dikerjakan sejak lama dengan sepenuh hati langsung dijudge murni menggunakan ChaGPT.
Entah atas dasar apa penilaian itu bisa muncul.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.