Opini
Anak-anak Keracunan, Netizen Geram: Benarkah Makan Bergizi Gratis yang Salah?
Kita perlu menelaah persoalan ini dengan kepala dingin, bukan semata mengikuti arus komentar warganet.
Insiden keracunan massal menunjukkan rantai pengadaan dan distribusi pangan yang tidak aman: dapur tidak memenuhi syarat higienis, pendingin (cold chain) tidak tersedia, bahan tidak terlacak, dan pengawasan laboratorium minim.
Suara Netizen: Transfer Tunai ke Orang Tua
Gagasan menyerahkan anggaran MBG langsung ke orang tua siswa terdengar pragmatis, mengurangi birokrasi, menghindari kasus korupsi, dan memberi kebebasan bagi keluarga. Namun ini tidak serta-merta menjadi solusi:
1. Tidak menyelesaikan masalah keamanan pangan di sekolah.
Anak tetap butuh makan di jam sekolah; siapa yang menjamin makanan yang mereka bawa aman, higienis, dan bergizi seimbang?
2. Menambah kesenjangan kualitas.
Keluarga dengan literasi gizi rendah mungkin memilih makanan murah, tinggi kalori namun miskin zat gizi.
3. Hilangnya skala ekonomi.
Pengadaan massal memungkinkan penyusunan menu seimbang dengan harga lebih efisien dibanding belanja eceran per rumah tangga.
4. Kontrol sulit dilakukan.
Transfer tunai rentan dialihkan untuk keperluan lain.
Ahli Kebijakan Publik Pangan dari IPB University, Dr Diah Ayu Puspitasari berpendapat, “Model cash transfer memang meningkatkan fleksibilitas keluarga, tetapi kehilangan kendali terhadap standar gizi dan keamanan pangan. Jika ingin efisien dan aman, voucher berbasis gizi atau paket pangan dari penyedia terverifikasi lebih tepat.”
Landasan Hukum Sudah Ada, Tinggal Ditegakkan
Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum yang cukup kuat.
PP Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menegaskan kewajiban setiap pelaku usaha pangan menjamin keamanan dari produksi hingga distribusi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.