Opini
Kementerian Haji dan Umrah: Solusi atau Bagi Kursi?
Di atas kertas, langkah ini tampak revolusioner. Namun, di balik itu, ada pekerjaan rumah besar yang menanti.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu mengumumkan reshuffle kabinet, dengan satu keputusan yang cukup mengejutkan yaitu pembentukan Kementerian Haji dan Umrah.
Kementerian baru ini diproyeksikan fokus mengurus penyelenggaraan haji dan umrah, mulai dari kuota, layanan jamaah, hingga tata kelola dana.
Di atas kertas, langkah ini tampak revolusioner. Namun, di balik itu, ada pekerjaan rumah besar yang menanti.
Selama puluhan tahun, haji menjadi urusan rutin Kementerian Agama. Problem klasik selalu sama, kuota terbatas, antrean panjang, penetapan dana haji diperdebatkan, hingga praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terus berulang.
Reshuffle kabinet dengan menghadirkan kementerian baru seakan menjadi jawaban cepat Presiden Prabowo atas kerumitan yang tidak kunjung selesai.
Dalam Perspektif hukum tata negara, pembentukan kementerian baru ini sah. Pasal 17 UUD 1945 memberi Presiden kewenangan penuh mengangkat dan memberhentikan menteri.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga membuka ruang fleksibilitas, selama kementerian itu mendukung efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Namun, persoalan mendasarnya bukan sekadar nomenklatur. Apakah sekadar mengganti papan nama kementerian bisa mengurai benang kusut pengelolaan haji yang sarat kepentingan dan permufakatan jahat?
Indonesia adalah negara dengan jamaah haji terbesar di dunia. Namun, dalam diplomasi kuota dengan Kerajaan Arab Saudi, posisi Indonesia sering tidak sekuat seharusnya.
Dengan kementerian baru, diharapkan negosiasi kuota tak lagi bergantung pada lobi personal pejabat, melainkan dijalankan lewat diplomasi negara yang resmi, melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Presiden langsung.
Jika ini berhasil, antrean yang kini mencapai belasan hingga puluhan tahun di sejumlah daerah bisa dipangkas. Tapi jika diplomasi tetap dibiarkan transaksional, kementerian baru ini hanya akan mengulang pola lama.
Dana haji, yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), kini berada di bawah naungan kementerian baru.
Dana triliunan rupiah selama ini diperdebatkan, apakah sebagai dana investasi negara, ataukah dana amanah yang murni harus kembali ke jamaah.
Secara normatif, dana haji adalah trust fund (dana amanah). Negara tidak boleh memperlakukannya sebagai kas pembangunan.
Maka, kementerian baru harus memastikan tata kelola BPKH lebih transparan dan akuntabel, dengan audit independen yang rutin melibatkan BPK dan KPK.
Jika tidak, risiko penyalahgunaan akan makin besar karena adanya institusi tambahan dalam rantai birokrasi.
Setiap musim haji, isu KKN seperti hantu yang tak pernah hilang. Tender katering, hotel, dan transportasi di Arab Saudi kerap jadi ladang korupsi.
Publik tentu khawatir, apakah kementerian baru ini sungguh untuk reformasi, atau justru menjadi reinkarnasi lahan korupsi baru dengan wajah baru?
Reshuffle kabinet kerap ditafsirkan sebagai strategi politik bagi-bagi kursi. Bila kementerian baru ini hanya lahir untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu, ibadah haji justru terjebak semakin dalam dalam logika kekuasaan.
Menurut Penulis, Pembentukan Kementerian Haji dan Murah bukan tanpa konsekuensi politik. Setidaknya Ada tiga tantangan besar yang akan dihadapi.
Pertama, Resistensi dari Kementerian Agama. Kementerian Agama berpotensi merasa kewenangannya terpangkas.
Selama ini, pengelolaan haji adalah salah satu prioritas utama Kemenag, sekaligus sumber legitimasi politik di hadapan umat Islam.
Dengan lahirnya kementerian baru, Kemenag bisa kehilangan ruang strategis, sehingga muncul tarik-menarik kewenangan yang bisa berujung pada rivalitas birokrasi dan tumpang tindih kewenangan.
Sehingga diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi regulasi terkait kewenangan agar tidak melahirkan sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Kedua, Dinamika di DPR. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fraksi-fraksi di Senayan kemungkinan akan mempersoalkan pembentukan kementerian baru ini, terutama soal efisiensi anggaran dan tumpang tindih kewenangan.
Ada pula potensi tarik-menarik politik di Komisi VIII yang selama ini membidangi urusan agama dan haji.
Ketiga, Kritik dari Ormas Islam. Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, yang punya basis jamaah haji dan umrah, bisa memberikan kritik.
Mereka mungkin mempertanyakan apakah kementerian baru ini benar-benar untuk reformasi atau hanya proyek politik. Apalagi jika proses penyusunan kebijakan tidak melibatkan ormas secara bermakna, resistensi publik bisa menguat.
Tantangan politik ini akan menentukan apakah kementerian baru bisa bertahan sebagai solusi, atau justru menjadi sumber masalah baru.
Oleh karena itu Ada beberapa catatan evaluatif dari Penulis. Pertama, kementerian baru harus memiliki regulasi khusus.
Presiden Prabowo perlu segera menginisiasi peraturan pemerintah sebagai turunan UU Kementerian Negara, agar kewenangan Kementerian Haji dan Umrah jelas dan tidak tumpang tindih dengan Kementerian Agama atau BPKH.
Kedua, perlu pembatasan tegas, kementerian baru fokus pada kebijakan, diplomasi, dan pengawasan. Aspek teknis operasional, seperti travel atau logistik, bisa diserahkan pada badan profesional. Dengan begitu, potensi penyalahgunaan kewenangan dapat diminimalisir.
Ketiga, transparansi harus dijadikan budaya. Publik harus bisa mengakses data kuota, antrean jamaah, hingga laporan pengelolaan dana. Tanpa keterbukaan, kementerian baru hanya menjadi birokrasi tambahan yang mahal.
Keempat, penataan haji furoda. Skema haji furoda yakni keberangkatan melalui visa mujamalah (undangan) yang kerap dipasarkan biro travel swasta selalu menimbulkan masalah setiap tahun.
Banyak jamaah terlantar karena visa palsu atau izin yang tidak jelas. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu Membuat regulasi tegas yang memisahkan haji reguler, haji khusus, dan haji furoda, agar jamaah paham risikonya.
Selain itu pemerintah harus mewajibkan biro travel penyelenggara furoda memiliki jaminan perlindungan konsumen berupa escrow fund (aset yang ditahan sementara) atau asuransi khusus.
Selanjutnya, pemerintah perlu membentuk satuan pengawas haji furoda di bawah kementerian baru, agar tidak ada lagi jamaah tertipu oleh travel nakal.
Kalau perlu pemerintah bisa melakukan diplomasi khusus dengan pemerintah Saudi agar visa mujamalah tidak diperdagangkan bebas, tetapi dikelola transparan dengan kuota resmi.
Dengan langkah ini, jamaah furoda tetap mendapat ruang, tetapi tidak menjadi celah bisnis gelap yang merugikan jamaah dan mencoreng nama Indonesia di mata internasional.
Reshuffle kabinet Presiden Prabowo yang melahirkan Kementerian Haji dan Murah adalah langkah berani.
Namun, keberanian politik ini harus diiringi dengan keberanian hukum, memperjelas dasar kewenangan, menghapus celah praktik korupsi dalam pengelolaan haji, dan memastikan dana haji benar-benar kembali untuk jamaah.
Jika tidak, kementerian ini hanya akan menjadi etalase baru dari problem lama. Jamaah yang mestinya mendapat pelayanan terbaik dalam ibadah suci yang akan terus menjadi korban dari ritual politik dan birokrasi negara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.